Hujan, semakin deras rintik airnya. Buliran-buliran lembut nan bening terus turun membasahi bumi. Sesekali petir menyambar, anginpun berhembus menemani sepinya langkah Karina saat ini. Kepala tertunduk, langkah gontai menelusuri jalan basah dipinggiran toko.
Tangan itu menggeret koper yang sedikit berat. Baru saja baju itu mengering, kini harus diguyur air hujan yang tumpah dari langit gelap.
Suara napas Karina terdengar sesak. Bukan karena beban koper atau bayinya yang semakin besar di kandungan. Tetapi, rasa sesak akibat ucapan demi ucapan Bapaknya yang terlalu kejam. Dia bak anak tiri yang tak dianggap, berbeda dengan Ulia yang selalu saja disayang.
"Kenapa aku harus hidup sampai sekarang, Tuhan? Kenapa kau berikan umur panjang bila hidupku harus selalu ditimpa kemalangan? Apa salahku, Tuhan? Apa salah kehidupan dan kelahiranku sampai-sampai semua orang membenciku?" bisik batinnya di tengah-tengah isak tangis yang mulai terdengar. "Andai saja aku bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak dilahirkan ke dunia ini bila aku tau hidupku akan begini!" lanjutnya.
Dari kejauhan, "Itu kan ...." Mata Wahyu menyipit, dia berusaha mengenali wanita yang berjalan sendirian di tengah hujan deras. "Karina? Ngapain dia di tengah hujan kayak gini?" tanya Wahyu pada dirinya sendiri. Lalu dia mulai menepikan mobilnya. Mematikan mesin lalu mengambil payung di kursi belakang. Bergegas ia keluar dari mobil.
Berlari di antara air tergenang di jalan. "Kar?" katanya sambil memayungkan Karina yang sudah kedinginan dan mengigil, kulit putihnya sedikit membiru. Karina menoleh, dia pandangi Wahyu dengan pandangan yang sedikit berbayang.
"W-Wahyu?" katanya, lalu dengan cepat tangan laki-laki itu menahan tubuh Karina yang hampir terjatuh karena pusing.
"Kar ... kamu gak apa-apa Kar?" tanya Wahyu sedikit panik. "Kar ... Karinaa!" pekiknya. "Gawat, dia pingsan!" Tanpa banyak bicara lagi, dia langsung menggotongnya. Payungnya sengaja dibiarkan tergeletak di jalan.
Wahyu segera membawa Karina yang sudah kedinginan dan mengigil itu ke rumah sakit terdekat.
Sementara itu di rumah, Dodi mulai kuatir dengan keadaan Karina. Tidak biasanya dia keluar tanpa bilang. Dia tau, pesan teks Karina tidak pernah dibalas olehnya. Tetapi, saat ini, entah kenapa dia gelisah. Dia tidak tau apa yang terjadi pada hatinya. Lalu, pikirannya mulai berpikiran yang tidak-tidak. Bayangan demi bayangan buruk tentang Karina disangkutpautkan oleh Wahyu. Laki-laki yang dia benci muncul tanpa diminta.
Dodi cemburu? Ya, menurut Karina Dodi mulai ada rasa dengannya. Walau tidak pernah dia tampakkan, tetapi Karina merasakan rasa Dodi untuknya. Sayangnya, perasaan itu dia khianati oleh perselingkuhan dan membuat Karina memutuskan untuk pergi. Ditambah dia tidak pernah jujur pada perempuan itu.
"Ke mana perempuan itu?" gumamnya. Dia sengaja pulang lebih cepat agar bisa menjaga Karina. "Apa dia gak sadar di luar hujan deras?" pikirnya lagi. Semakin dia cemas dengan keadaan Karina di luar rumah.
"Aaargh!" teriaknya kemudian. "Aku gak tenang bila terus menerus nunggu dia di rumah!" lanjutnya kian tak tenang. Hujan di luar bertambah deras. Kaki Dodi tak bisa diam, berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Sesekali dia melongok ke jendela. Berharap Karina yang pulang setiap ada suara mobil yang melintas di depan rumahnya.