Lamat-lamat terdengar suara Wahyu di telinganya. Namun, Karina tidak jelas mendengar kata-kata Wahyu itu. Lalu, mata Karina mulai terbuka, kesadarannya mulai sepenuhnya tersadar. Karina menoleh. Dia terkejut saat melihat Wahyu sedang mencium punggung tangannya.
"K-kamu ... lagi ngapain, Wahyu?" Suara pelan dan lemah itu membuat Wahyu tersentak dengan penampilan seperti orang bodoh. Dia terlihat kikuk saat kepergok Karina sedang mencium punggung tangan perempuan itu dengan mesra. Wahyu segera melepaskan genggamannya dengan wajah gugup.
"Gak ... a-aku gak ngapa-ngapain, kok!" elaknya terbata, buru-buru melepaskan genggaman tangan Karina. Dia tidak mau Karina salah paham lebih lama lagi. "K-kamu gak apa-apa?"
Karina cuma tersenyum sambil menggerakkan matanya. "A-aku di mana? Dan kenapa?" tanya Karina.
"Kamu di rumah sakit, tadi pingsan di jalan dan aku membawanya ke sini," sahut Wahyu. Sekali lagi perempuan itu mengucapkan terima kasih pada Wahyu.
"Sudah jam berapa sekarang?"
"Jam setengah delapan!" sahut Wahyu melirik ke jam di tangannya. Karina beranjak bangun.
"Aku harus pergi sekarang!" serunya mencabut jarum infus. Darah muncrat dari luka tusuk jarum infus.
"Kamu mau ke mana? Dokter menyuruh kamu istirahat dulu sehari," Wahyu mencoba menahannya, tetapi tidak bisa. Sifat keras kepala Karina membuat laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa.
"Aku harus kembali ke rumah sebelum Dodi pulang!" serunya melupakan apa yang ingin dia lakukan tadi, sebelum pingsan. Karina berjalan keluar dari ruang IGD, Wahyu mengikuti dari belakang sambil mencari suster agar bisa membantunya menahan Karina.
"Iya, aku tau. Tapi setidaknya tunggu dokter atau suster untuk memeriksamu, Karina!" Sesekali dia melihat ke belakang dan ke samping, berharap satpam, dokter atau suster bisa menolongnya. "Biar kondisi janinmu kembali sehat!"
"Gak bisa, dia pasti sudah berada di rumah. Dia akan marah padaku, Wahyu!" sergah Karina. Dia berdiri di trotoar. Menunggu taksi datang.
"Oke ... oke! Kalau gitu aku antar!"