Tolong, Sayangi Aku.

Kamalsyah Indra
Chapter #31

Dia Yang Telah Meninggal.

Dddrttt.

Dddrrrtt.

Ponselku berbunyi, suara nada panggilan menggema. Kulirik nama di layar ponselku, "Bunda?" gumamku. Suara nada panggilan yang menggema itu, memotong kalimatku yang belum sempat diselesai tadi.

"Kar, tunggu dulu ya, gue jawab telepon dulu. Ingat, jangan ke mana-mana. Pokoknya elu harus menyelesaikan cerita elu ini tanpa ada yang menggantung, titik!" seruku mencoba menahan Karina, Randa dan Wahyu. Karina hanya mengangguk, sorot mata yang kini kehilangan cahaya itu terlihat sendu. Seperti tidak ada tanda kehidupan. Aku segera keluar dari cafe untuk menerima panggilan telepon dari istriku, lalu menekan tombol hijau. Tak lama suara istriku terdengar menggema hingga ke gendang telinga.

"Yah ... Ayah di mana sih?" Suara istriku dari seberang sana terdengar ketus. Namun sedikit kalah dengan rintikan air hujan yang terlalu deras turunnya.

"Ayah lagi ketemu klien, Bun," sahutku. Melirik ke arah dalam tempat dudukku bersama Karina. Takut perempuan itu pergi tanpa bilang. Sesaat sebelum Wahyu dan Randa datang aku merasa mengkhianati istriku. Sebab, aku seolah-olah mementingkan cerita ini dari pada istri dan anakku.

Tapi apa mau dikata, hujan juga turun sangat deras hingga membuatku tidak bisa ke mana-mana.

Aku melihat Karina, dia tersenyum ke arahku. Ada yang berbeda dengan mereka, dan perbedaan beberapa menit lalu semakin jelas terlihat. Wajah mereka tersenyum, namun seolah ada luka yang tak mampu di obati. "Aneh! Kok, aku merasa ada luka di balik senyum mereka ya? Tapi apa? Aaah ... mungkin hanya pikiranku saja," bisik batinku membuat prasangka buruk pada Karina, Wahyu dan Randa.

Lalu, Karina melambaikan tangan, aku pun membalasnya juga membalas senyuman Wahyu yang sulit ditebak olehku. Keduanya sangat serasi, berharap Karina bisa menikah dengan Wahyu dan bahagia. Kembali fokus setelah itu.

"Lama banget ketemu kliennya? Udah dua jam gak balik-balik!" keluh istriku sambil menggerutu. Aku hanya tersenyum. "Anaknya nanyain terus nih, Yah. Mana rewel lagi. Pusing jadinya!"

"Iya ... iya, dikit lagi Ayah pulang kok, Bun. Sekarang kan lagi hujan Bun, jadi ayah ke tahan pas mau pulang tadi. Emang di bekasi gak hujan?" tanyaku penasaran. Sebisa mungkin menjelaskannya pada wanita yang sudah kunikahi lima tahun lalu.

"Hujan! Tapi anaknya nanyain terus." Istriku menjawab pelan. "Ya udah, jangan lama-lama. Kalau udah selesai langsung pulang!"

Aku mengabaikan ucapan Istriku. Lebih fokus melihat ke dalam kafe. Aku heran, kemana perginya Karina, Wahyu dan Randa. Padahal hanya dalam waktu lima menit aku memalingkan muka, tetapi secepat itu mereka sudah tidak ada di tempat.

"Tunggu!"

Aku mengucek mata. Memastikan bahwa yang aku lihat salah. Menoleh kembali ke dalam, benar saja, semua yang aku lihat bukan kesalahan pada mataku. Kukucek sekali lagi mata ini, kali ini aku mencoba membuka mataku sangat lebar. Tetap saja, mereka bertiga memang sudah tidak ada di tempat kami mengobrol tadi.

"Di mana Karina, Wahyu dan anaknya?" tanyaku bingung, sebab, lima menit lalu aku menoleh mereka masih ada di tempat. Masih bercanda dan tertawa. Tapi sekarang ....

"Yah ... Ayah dengarin aku sama bunda ngomong gak sih?" Kali ini anakku yang marah-marah dari balik telepon. "Dari tadi aku teriak-teriak ayah diam aja!"

"I-ya ... iya sayang. Udah dulu ya, ayah mau ketemu klien lagi. Sebentar lagi selesai kok, nanti Ayah langsung pulang!" jawabku tergesa-gesa. Mematikan sambungan telepon setelah anak perempuanku menjawab sambil marah-marah. Hati ini menjadi tak tenang, Karina pergi tanpa bilang atau segera pamit walau tadi sedang menelepon.

Aku bergegas ke dalam, berjalan ke tempat aku duduk tadi. Tak ada tas Karina maupun benda lainnya, hanya ada tas, buku serta alat perekamku saja di meja. Masih berada pada posisi awal aku merekam pembicaraan dengan Karina.

Lihat selengkapnya