Tomo dan Gendis

Rini Lestari
Chapter #1

Chapter 1

 

Gendis memandangi selembar kertas putih dengan goresan tinta merah bertuliskan huruf ‘C’ besar yang berada di dalam lingkaran. Dan juga tanda silang di ujung tulisan yang memenuhi hampir seluruh kertas. Wajahnya datar, dan ia berkali-kali menarik napas panjang. Seolah sudah tahu apa yang akan terjadi, namun ternyata persiapannya belum sampai pada tahap penerimaan. Tomo disampingnya asik membaca buku bersampul hitam berjudul Kala, buku yang tidak pernah berhasil ia selesaikan. Di depan keduanya dua tim basket sedang bertanding, lengkap dengan sorak sorai pendukung masing-masing tim yang memilih duduk atau berdiri di pinggir lapangan. Berkali-kali Tomo mendengar tarikan napas Gendis yang bersambungan dengan suara riuh di lapangan.

“Gendis, ini suara orang-orang di lapangan basket itu udah cukup mengganggu. Kamu jangan nambahin lagi deh, kamu kenapa sih,  sesak napas?”

Gendis menoleh ke arah sahabatnya itu dengan wajah kesal. Entah memang Tomo yang tidak peka atau memang tidak ingin memperdulikannya.

“Tomo, kamu nggak lihat ini nilai ujianku? Aku dapet C, Tomo. Lagian kalau mau baca buku itu diperpustakaan sana yang sepi. Bukan di pinggir lapangan.”

Mata Tomo masih terpusat pada barisan-barisan kalimat di dalam buku, sama sekali belum tertarik untuk melihat wajah kesal Gendis disampingnya.

“Ya terus kenapa? Bukannya memang setiap ujian selalu begitu ya? Dan, suka-suka aku mau baca buku dimana.”

Plakk… pukulan keras mendarat di kepala Tomo. Membuatnya secara spontan memegangi bagian belakang kapalanya yang terasa panas.

“Gendisss! Kamu kira kepalaku bola tenis yang boleh kamu pukul seenaknya. Ini itu isinya ribuan saraf yang bisa merintahin untuk jitak kepala kamu kapan aja loh.” Tomo melebarkan matanya antara menahan kesal dan menahan sakit.

“Makannya kalau ngomong itu dijaga, Tomo. Ya aku tahu nilaiku emang nggak pernah bagus, tapi kok tega banget sih kamu ngomong kayak gitu.”

“Lah, apa yang salah dari omonganku? Kan memang nilai ujianmu itu selalu C, paling-paling kalau lagi beruntung dapat B minus. Aku kan cuma ngomongin fakta, kenapa malah kepalaku yang jadi sasaran, sih. Makannya kalau dibilangin suruh belajar itu ya belajar, jangan cuma asik ngedrakor sama baca komik.”

“Tau ah, males. Kamu tuh sebagai sahabat harusnya ngedukung aku, kasih semangat, bukannya malah ngeledek kayak gitu.”

Tomo menjitak kepala Gendis. Hal yang selalu ia lakukan jika sahabatnya itu mulai mengesalkan.

“Heh, Gendis. Dimana-mana, yang namanya sahabat itu, kalau ada sahabatnya yang salah jalan yang dilurusin. Bukannya malah didukung. Coba aku tanya, udah berapa kali aku kasih tahu kamu buat belajar? Dan berapa kali aku kasih kamu tawaran untuk bantu kamu belajar? Tapi nggak ada tuh kamu dengerin aku. Kalau udah dapat nilai jelek aja baru nyesel, ngerengek, giliran dikasih tahu yang bener nggak peduli.”

Gendis memegangi kepalanya yang tidak sakit. Matanya kesana kemari, mencoba mencari pembelaan. Namun semua yang dikatakan Tomo terasa seperti list kesalahannya yang semuanya sudah tercheklist. Ia kemudian mengingat kembali semua usaha yang telah dilakukan Tomo untuk membuatnya belajar. Tapi ia sama sekali tidak mendengarkan dan sibuk dengan dunianya sendiri, sibuk dengan drakor dan komik kesayangannya. Sampai akhirnya Tomo lelah dan membiarkannya melakukan apa yang ia inginkan. Sepertinya memang ia pantas mendapatkan jitakan yang lebih keras dari sahabatnya itu. Atau bahkan mungkin seharusnya Tomo memukul kepalanya kebih keras lagi agar ia bisa benar-benar sadar. Sekarang ia sudah mulai membayangkan kemarahan Ibunya jika tahu ia kembali mendapatkan nilai merah. Ia lalu memandang Tomo dan memasang wajah penuh penyesalan. Berharap sahabatnya itu masih mau mengulurkan tangan untuk membantunya.

“Iya, deh. Aku ngaku aku salah. Maaf. Aku janji deh sekarang bakalan bener-bener belajar.”

Lihat selengkapnya