Yuna tidak pernah berharap banyak.
Kenyataan bahwa persaingan terlalu berat baginya, cukup untuk melucuti semangat yan dia kumpulkan selama ini. Dia sudah berkali kali diminta remedial beberapa mata pelajaran oleh gurunya, tapi tak juga membuahkan perubahan nilai yang signifikan. Pasalnya, dia juga bingung apa yang salah dari pelajaran yang ia pelajari. Bukan, maksudnya, apa yang salah dengan dirinya sendiri.
Dia tidak bisa menakhlukkan dirinya. Itu yang ia takutkan.
Dia jua tidak kunjung mendapat pencerahan dari mana pun. Toh, dia berasal dari keluarga yang sukses tanpa mempelajari Sejarah atau Biologi; keluarganya 100% pengusaha. Apalagi kedua orangtuanya yang cuma sekolah sampai SMA. Enggak memungkinkan buat dijadikan tempat bertanya tentang kuliahan, apalagi membahas tes UTBK.
Dan terakhir, dia paling malas harus mengunjungi ruang BK dengan konselor ter-killer se-alam semesta yang mau-tidak-mau harus bertatap muka dengannya seminggu sekali. Program khusus kelas 12 katanya. BK.
“Ibu enggak bisa bantu banyak,” wanita paruh baya bergaris muka keras itu menutup rapor nilai TO sekolah. "PTN? Ibu harap setidaknya kamu punya 10% kemunkinan lulus, tapi... ibu rasa kamu akan gagal, "
Ibu rasa kamu akan gagal . Kalimat itu termakan mentah mentah. Sudah diprediksi dia enggak punya kemungkinan untuk lulus PTN. Prediksinya enggak meleset sama sekali.
"Tapi saya masih mau masuk PTN, bu,"
"Iya ibu tahuu. Tapi buat lulus seleksi sekolah untuk menjadi peserta SNMPTN kemungkinannya sudah cukup kecil. SBMPTN? Ibu harap kamu mencari beasiswa universitas swasta saja,”
Jleb.
Rasanya Yuna mau menghilang saja dari dunia ini. Atau enak, biarkan waktu berhenti sejenak, tanpa sekolah tanpa ujian hidup. Gue mau berhenti aja.