“Jinan mana, sih?” pagi-pagi sekali, Yuna sudah nangkring di depan kelas Jinan.
“Lah, gak tahu, lah. Kamu kan temennya?”
“Lah, emang kalian apanya? Kalian temen sekelasnya, gaje!” Yuna berdecak. Punya temen sekelas, kok, enggak peka.
Sudah dua hari Jinan gak kelihatan di sekolah. Walaupun memang jarang ketemu karena beda kelas, tapi ketidakhadirannya dapat tercium oleh Yuna. Gimanapun, Yuna lumayan dekat dengan Jinan. Yah, walaupun mereka dekat hanya karena dulu sepersekongkolan kalau bolos ekskul taekwondo bareng konco-konco lainnya, ngadem di perpus sambil makan basreng ibu kantin.
“Gak, tahu, Aryuna! Gak percaya banget, sih,” gerutu Kenan.
Yuna hampir menghabisi lelaki di hadapannya itu kalau saja enggak ada guru lewat di antara mereka. “ya, udah, nih. Nitip kalau dia udah masuk,” ia menyerahkan buku catatan MTK Wajib. “bilangin makasih,”
Yuna memang bukan semacam anak yang terkenal atau apa. Tapi Yuna pikir, sudah sepantasnya teman seangkatan saling kenal. Enggak peduli kenalnya dari mana. Tidak, dekat, tapi sebatas tahu nama dan wajah. Yuna juga berpikir dia dikenal juga karena dia punya kepribadian yang sok kenal dan sok akrab. Selama dia dalam suatu kepentingan, siapa aja bisa jadi temannya. Kecuali teman nongki-nongki Yuna pas bolos ekskul tahun kemaren, mereka menjadi lebih dekat tanpa diminta.
Langkah gadis itu berbelok memasuki kelasnya yang lagi rusuh gara-gara ada battle game online. Entah apa nama gamenya. Yang pasti, anak kelasnya terkenal dengan para pejuang virtual yang kalau ngajak tanding game online udah kayak ngajak tawuran. Rusuh dan auto berantem. Yuna juga baru tahu kalau kelakuan anak SMA bisa disamakan sama kelakuan anak SD.
“Udah ketemu, Yun?” Adisti menahan langkah Yuna.
“Belum masuk, Ti,”
“Kamu enggak hubungi dia saja?”
“Heh,” Yuna meringis. “aku enggak pernah nyimpen nomor temen,” jujurnya. Adisti sontak memasang wajah kaget. Seakan mengatakan ‘kamu benar benar aneh dan enggak terduga’.
Yuna mengedikkan bahu, berusaha bodo amat dengan kemana hilangnya Jinan. Lantas duduk di sebelah Adisti, salah satu teman seperbolosan Yuna yang kebetulan sekelas dan kebetulan juga menjadi teman sebangkunya minggu ini. Melihat tingkah temannya itu, Adisti cuma bisa geleng-geleng kepala. Sejak awal bertemu, ia enggak bisa memprediksi isi kepala temannya yang satu ini.
Tiba-tiba, Adisti teringat sesuatu.
“Eh, aku tahu kamu harus tanya siapa,” ia memutar tubuhnya, menghadap Yuna yang sudah menjatuhkan kepalanya di atas tumpukan buku.
“Siapa?” tanggap Yuna malas.
“Tetangganya!” Adisti lantas membuka kontak di HP-nya. Setelah membuat Yuna hampir terlelap, ia menyodorkan benda tersebut. “Nih,”