Toni's Secret

Yurlian
Chapter #1

Hai!

Jena terlihat gusar usai bertemu dokter. Matanya tampak kosong ketika jalan beriringan dengan putranya--Toni. Terasa angin berembus lebih kencang dari biasanya, membuat rambut perempuan yang hampir kepala empat tersebut, berantakan.

Dia tidak merapikan.

Ada yang tidak beres.

"Dokter bilang apa?" Toni susul langkah Jena. Dia yang sedang libur sekolah memang memaksa untuk menemani ibunya. Meski, Jena menolak untuk ditemani dan lebih menginginkan putranya untuk istirahat.

Siapa yang bisa tenang, kalau sejak pemeriksaan beberapa minggu lalu, semua orang terlihat murung.

Jena berhenti sebentar, menunggu Toni. Dia tatap manik legam milik putranya, kemudian berkata, "Belum tahu."

Toni bisa mengetahui dari sorot mata ibunya, dia sedang berbohong.

"Kita cari makan dulu, ya?"

"Bu-"

"Ayo!" Jena meraih tangan Toni, menuntunnya untuk menghabiskan perjalanan di koridor rumah sakit, menuju area parkir. 

Toni ikuti. Baru juga sebentar, sorot mata kosong Jena sudah terlihat lagi. 

Sepanjang langkah, Toni punya pertanyaan sendiri. Untuk apa, Jena bohong padanya. Tanpa diberitahu lagi pun, dia sudah menyadari ... ada yang tidak beres dengan dirinya.

Jena mengunjungi beberapa rumah sakit ternama, membawa hasil lab Toni. Setiap kali Toni tanya, hanya akan Jena jawab belum dapat hasil yang benar.

Lantas, apa yang salah?

Toni tidak pernah diberi kesempatan untuk melihat hasil tes kesehatannya sendiri. Kenapa?

Dia punya hak untuk tahu yang sebenarnya, 'kan?

Duduk di dalam mobil, Toni tidak mau lagi ibunya atau semua orang merahasiakan ini.

"Hasilnya sama, 'kan?" Tanpa basa-basi, Toni menebak apa yang ibunya khawatirkan.

Jena melihat map coklat yang ada di tangannya. "Oh, ini ...." Dia tergagap. "Kita masih bisa melakukan tes lagi, Sayang."

"Sudah tiga rumah sakit, Bu!"

Jena masih mencari alasan. "Dokter itu manusia, mereka bisa jadi salah, Toni jangan banyak pikiran-"

"Kalau semua sama, berarti hasil tes-nya benar." Toni menyela 

Jena tersentak. Bibirnya seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa keluar.

Toni menarik napas. Dengan posisi duduk yang lurus ke depan tanpa menatap ibunya, dia kumpulkan keberanian untuk bertanya, "Seberapa parah?" 

"Toni, kita-" Jena masih belum mau Toni tahu tentang semuanya.

Rasanya seperti tercekik. Toni tidak bisa menolak, kalau hidupnya sebentar lagi tidak akan sama seperti dulu.

"Berapa lama, Toni bisa bertahan?"

Jena tidak punya jawaban.

Beberapa bulan kemudian ....

MOS SMA, berarti no handphone! Senior melarang, junior barunya bawa benda pipih tersebut. Katanya, risiko hilang. Senior tidak mau jadi yang disalahkan.

Hampir jam tujuh, senior mulai mengingatkan agar mereka bersiap menuju lapangan, pakai TOA. 

Siswi berkulit putih dengan matanya yang bulat, terus melihat ke arah pintu menanti kapan temannya datang. Memang iya, ini sudah hari terakhir MOS, tetapi bukan berarti bebas hukuman kalau datang terlambat.

"Ke lapangan, semua. Cepat!" suruh senior yang tiba-tiba masuk ke kelas. Tidak ngegas, cuma tegas.

Maya--siswi yang 'kehilangan' teman--masih menunggu.

"Kamu, ngapain masih duduk?" Tunjuk senior perempuan. Dia cantik, dengan pipinya yang chubby. Kelihatannya, senior laki-laki, lebih sering kumpul di dekatnya. Modus.

"Bentar, Kak, saya-"

"Lapangan, sekarang! Lihat itu, udah nggak ada yang santai duduk kayak kamu!"

Maya cuma bisa menunduk, menuruti seniornya. Mau tidak mau, ya harus ke lapangan sekarang. Tadinya, mau pakai prinsip setia kawan, cuma kondisinya genting. Abaikan dulu setia kawan, daripada dihukum berjamaah.

Junior harus patuh sama senior. Senior tidak pernah salah. Begitu, selogannya. Maya harus tahan digalakin. Coba kalau dia lahir duluan dari mereka, pasti posisinya sekarang terbalik.

Pucuk dicinta, ulam tiba. Dari arah gerbang, Kinan tengah berlari kencang. Gerbang hampir ditutup.

Lihat selengkapnya