SABTU, jadwal ekskul hampir di semua sekolah--termasuk SMA Gemilang Bangsa.
Rifki dan tiga orang teman lainnya mendaftar di ekskul basket. Jika dia bisa mendapatkan satu orang lagi, kelasnya akan pas punya satu tim basket.
Berpikir siapa yang pas, Rifki mulai dari siswa yang memiliki postur tubuh tinggi. Dan yang ada di benaknya adalah Toni.
Kebetulan, dia melihat Toni--hanya berdiri diam di depan pintu kelas, dengan headset terpasang di telingan. Dia sambangi Toni.
"Tim basket kelas kita kurang satu orang, lo mau gabung, Ton?" tanya Rifki.
Merasa diajak bicara, Toni melepas headset. "Ajak Prima aja, gue enggak bisa main basket."
"Lo punya postur badan yang tinggi. Kalau masalah gak bisa main, nanti ada pelatih yang bisa latih kita."
Toni tersenyum miring. "Percuma punya badan tinggi kalau gak bisa main basket, tuh Prima jago." Dia memicingkan dagunya-- menunjuk Prima yang baru datang membawa dua botol air mineral.
Rifki tidak mau memaksa Toni, ia tanyakan hal yang sama pada Prima.
"Gimana, Prim? Mau gabung?"
Prima melirik ke arah Toni. Tidak perlu tanya apa alasannya, sudah pasti karena dia mau Prima berhenti mengawasinya.
"Maaf, Ki, gue udah masuk ekskul musik."
"Kenapa enggak ikut aja, Prim," Toni menyela, "supaya lo bisa berhenti jadi anjing penjaga." Sebelah alisnya terangkat naik, menatap sinis pada Prima.
"Jangan atur gue." Prima menunjuknya.
Berdecih, Toni melangkah pergi dari mereka.
Rifki terperangah. Bagaimana mungkin, seorang teman bisa berkata kasar seperti itu.
Prima menghela napas kasar, Toni membuat tugasnya semakin sulit.
"Gue tinggal dulu, ya!" Dia hendak menyusul Toni.
"Prim!" Rifki menahan langkah Prima. "Gue tau, Toni anak orang penting dan populer di sekolah. Tapi, kalau gue jadi lo, gue gak terima direndahin gitu."
Prima tersenyum simpul. "Dia lagi banyak pikiran, jadi kalau ngomong suka asal. Maafin aja dia, jangan ambil hati. Oke!" Prima kembali mengejar Toni.
Toni jalan tak jelas, pergi ke arah gerbang sekolah. Apa dia mau pulang?
Dasar! Prima membatin sendiri melihatnya. Meski pihak manajemem sekolah sudah tahu bagaimana kondisinya, tetap saja dia tidak bisa pergi sembarangan. Teman-teman yang lain bisa mencapnya sebagai 'anak emas' sekolah kalau begitu.
"Lo, kalau mau asal ngomong usahain cuma gue aja yang denger. Jangan sampai yang lain juga!" omel Prima saat dia berhasil menyusul Toni.
Toni terus melenggang, mengabaikan Prima.
"Mereka mulai nggak suka dengan sikap lo."