KINAN menangis. Dia baru saja sampai di sekolah, tapi pipinya sudah basah dengan air mata.
Begitu dengar sahabatnya tengah menangis, Maya segera menyambangi ke kelas tanpa menunda.
"Oke, Nan," katanya saat mendapati Kinan sudah berderai air mata. "Lo denger ini baik-baik!" Maya langsung memberi nasihat sebelum Kinan menjelaskan. "Siapa pun orang yang mengganggu lo atau apa pun itu, lo harus tetep bertahan di sekolah ini. Inget biaya daftar ulang kita mahal! Sayang kalau lo keluar di tengah jalan begini."
Kinan mengernyitkan alis, bingung dengan ucapan Maya.
"Kedua," sambung Maya, "lo inget ada gue, 'kan? Gue siap bantu lo. Any time!"
Kinan mengusap airmatanya. "Gak ada yang ganggu aku, May ...."
"Lah terus?" Maya menarik satu bangku di samping Kinan dan merapatkan ke arahnya. "Lo nangis karena apa?"
"Kamu masih inget monyet kecil yang sering aku kasih makan itu?"
"Ya ... ya, terus monyetnya mati gitu?" celetuk Maya.
"Maya!" Kinan tersentak. "Kamu mau denger apa enggak?"
"Hee, iya."
"Tadi pagi pas aku ke sana, monyetnya enggak ada. Terus kata yang punya rumah udah dijual." Kinan menjelaskan.
Mendengar itu semua, Maya merasa sedikit kesal. Dia mendengus, satu kekhawatirannya terbuang sia-sia pagi ini. Harusnya dia sadar, bahwa lalat mati pun akan membuat Kinan menangis.
"Gue kira, lo diganggu siapa tadi. Atau gue malah mikir, Toni udah keterlaluan ngerjain lo. Ternyata cuma gara-gara monyet kecil itu."
"Yah, kamu kan tau, aku udah sayang sama monyet itu ...," lirih Kinan.
Maya hanya mengangguk sambil memancungkan bibir.
Omong-omong soal Toni, Kinan juga merindukanya. Satu minggu sudah dia tidak masuk sekolah. Maya bilang teman-teman di kelasnya mulai protes, karena Toni bisa tidak masuk sekolah karena sakit yang sepele.
Membersit hidung, Kinan bertanya tentang Toni setelahnya. "Toni belum masuk juga?"
Maya menggeleng. "Belum. Udah satu minggu dia enggak sekolah. Kalau kata wali kelas, sih, dia memang sakit. Cuma pas kita tanya sakit apa, eeeh kita cuma disuruh doain aja."
Hanya "O" cukup panjang yang Kinan ucapkan. "Sakit apa ya dia?"
Maya mengangkat kedua bahunya. "Mana gue tau. Biarin aja dia mau gimana. Anaknya juga tertutup gitu."
Kira-kira, hal apa yang membuat Toni lama tidak masuk sekolah? Kinan terus memikirkannya.
◆○◆
"Gimana sekolah, Prim?" tanya Toni. Selang infus masih menempel di tangannya. Meski demikian, kondisinya sudah kelihatan lebih baik. Teman-temannya menyangka dia harus dirawat karena tendangan bola di wajahnya. Padahal, ini karena fisik Toni yang melemah beberapa hari belakangan.
Akhir-akhir ini dia mulai sering marah-marah dan mengabaikan kesehatannya yang terus memburuk.
Prima meletakkan tasnya di kursi, samping tempat tidur Toni. "Sekolah atau Kinan maksudnya?" tanya Prima.
Kebetulan ada Jena juga di situ.
"Tante ...." Prima menyalimi tangan Jena--ibunya Toni.
Jena tersenyum. "Sudah makan, Prim?" tanya Jena.
"Sudah, Tante. Gimana Toni?"
Jena mendesah, walau berusaha tegar raut kekhawatirannya tidak bisa ditutupi. "Dokter masih melakukan pemeriksaan. Matanya menatap sendu pada Toni.
Sayangnya sang anak itu terlalu keras kepala. Dia menolak kemotheraphy lantaran itu malah bisa membunuhnya lebih cepat.
Toni mencebik. "Apa?" Dia masuk dalam pembicaraan. "Apa itu artinya, Toni bakal mati sebentar lagi?"
"Jaga omongan!" Prima membentak. Dia mengerling pada Jena. Harusnya Toni tahu, bagaimana orang tuanya sedang berjuang demi kesembuhannya.
Toni memalingkan wajah, sementara Jena memberi tanda pada Prima agar bisa menghibur putranya.
Memang sejak divonis menderita leukemia Toni jadi lebih mudah marah dan sensitif. Itu pula sebabnya ketika Toni terkena bola kemarin, lukanya mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Jena menepuk lembut lengan Prima. "Tante tinggal dulu, ya, cari angin sebentar di luar."
Prima mengiyakan.
Jena keluar dari ruang perawatan Toni, sebelumnya ia sempat mengusap kepala Toni. "Ibu sayang kamu, Toni," bisiknya.
Tepat setelah pintu ditutup, Toni bicara, "Prim."
"Mmh." Hanya itu yang keluar dari mulut Prima.
"Apa sakit gue parah?"
Prima tak menjawab.
"Lo tau, 'kan, Prim, gimana kondisi gue yang sebenarnya?
"Enggak tau. Gue bukan dokter."
Toni merasa Prima memang tidak mau mengatakan yang sebenarnya.