BERITA menghebohkan pagi ini, di sekolah. Toni sudah masuk kembali. Para siswi menganggapnya sebagai kembalinya satu pelita ke sekolah. Entah dengan siswa putra.
"Seneng liat lo bisa ke sekolah lagi," kata Vanesa saat menyambangi Toni di tempat duduknya.
Toni melepas masker yang dia pakai sebelum menjawab. Gue juga seneng bisa sekolah lagi."
"Lo sakit apa memangnya?"
"Anemia." Toni berbohong.
Vanesa mengangguk perlahan. "Seberapa parah?" Dia kembali bertanya.
"Lebih parah dari yang biasa lo tau."
Vanesa tertawa kecil. "Tapi, untungnya lo udah sembuh sekarang."
"Yah, untung," jawab Toni terdengar ragu.
"Gue ada sesuatu untuk lo." Vanesa memberikan sesuatu pada Toni. Sebuah kotak kecil yang berisi gitar mini.
"Prima bilang, lo lagi belajar main gitar dan juga suka koleksi miniatur gitar, makanya gue siapin ini. Biar lo semangat."
Toni mengerling pada Prima yang tampak cuek, lalu menerima pemberian Vanesa.
"Makasih!" kata Toni.
"Oke. Kalau gitu, gue ke sana dulu, ya ...." Vanesa menunjuk bangkunya.
"Umhh." Cuma itu yang Toni katakan.
Vanesa merasa Toni sangat dingin padanya. Dia sudah mengabaikan rasa malu demi mendekati Toni, tetapi cowok itu tetap saja hanya menjawab seadanya.
Kembali ke bangkunya, Vanesa menahan rasa kecewa atas sikap Toni padanya.
Toni beralih pada siswa di sebelahnya, setelah siswi cantik itu pergi. "Prima lo bocorin apa aja ke mereka selama gue enggak masuk?"
"Apa masalahnya, bagus, 'kan? Lo dapet hadiah dari cewek cantik."
"Cantik, sih, tapi enggak buat hati bergetar."
"Jadi maksudnya, Kinan yang lo bilang aneh itu, yang bisa buat hati lo bergetar?"
"Diem!" Toni membentak. Jangan sampai ada yang tahu tentang perasaanya.
Prima menyunggingkan senyuman. "Sekarang gue tau kenapa kalian cocok. Kinan lo bilang aneh dan gue juga bisa bilang lo aneh, karena bisa suka dengan dia. Jadi kalian memang sama-sama aneh."
"Dia memang aneh, tapi kesederhanaan dan kepolosannya itu yang buat gue penasaran. Lo tau? Kalau dia itu benar-benar lugu dan manis saat tersenyum."
Prima hanya mendengarkan, rasanya Toni menemukan satu semangat hidup untuknya.
"Nanti, lo juga bakal tau, Prim. Bahwa jatuh cinta itu bisa muncul tiba-tiba dan kadang dengan orang yang salah."
Bagaimana bisa, Prima tahu rasanya jatuh cinta? Kalau hampir sepanjang hari dia harus mengawasi Toni.
"Yah. Kalau gitu berusahalah sembuh! Supaya gue punya waktu untuk melirik cewek."
◆○◆
Bel berbunyi, waktunya istirahat. Semua orang juga tahu kalau itu adalah waktu yang paling menyenangkan buat para siswa. Setelah berjam-jam menguras energi untuk konsentrasi pada pelajaran, rasanya sedkit cemilan bisa menggantikan tenaga mereka.
"Lo mau ada yang dimakan gak?" tanya Prima pada Toni.
"Enggak. Gue mau di sini aja."
"Mau gue belikan sesuatu?"
"Enggak perlu. Gue mau duduk dulu di sini. Nanti kalau memang laper, gue tinggal keluar sendiri."
"Oke. Kalau gitu, gue di sini aja." Prima pindah ke belakang untuk duduk, sambil mengawasi Toni. Sekilas, Prima melihat teman-teman yang lain tengah bersendau gurau. Sejujurnya dia juga ingin merasakan itu.
Mereka bahagia, bisa tertawa lepas. Saling mengejar, membeli makanan bersama. Sedang dia, terjebak dalam pekerjaannya. Tanpa sadar ... itu semua membuatnya melamun.
"Pergilah, Prim! Bosen banget kalau jam istirahat masih harus ada lo."
"Jangan cari alesan supaya bisa kabur dari gue."
Terserah! gumam Toni. Dia mengatakan itu agar Prima mau bebas. Sayangnya, Prima itu sama keras kepala seperti dirinya.
Sesaat kemudian, cowok berwajah pucat itu, menoleh ke samping--tepatnya ke bangku Maya. Sudah kosong, itu berarti Maya sedang bersama Kinan. Sebuah ide tercetus di benaknya supaya bisa mengerjai si asisten.
◆○◆
"Toni udah masuk sekolah, lo gak samperin?" tanya Maya pada Kinan saat mereka mau menuju kantin.
"Samperin? Memangnya mau apa kalau disamperin. Temen juga bukan. Dia aja gak pernah manggil nama, selalu bilang asisten."