PRIMA KEMBALI ke kelas yang dipakai untuk ekskul musik. Setelah obrolannya dengan Kinan, pikirannya berubah. Basket memang hobinya. Dan musik, bukan hal yang ia minati.
Dia tahu, mungkin Toni akan sedih mengetahui ini. Sebab dialah yang hebat dalam permainan men-dribble bola tersebut. Namun, Prima tak punya pilihan, ia harus tanyakan ini pada Toni.
Mata cowok yamg selalu ada di dekat Toni itu, menyapu ke sekitar. Pembimbing ekskul mereka belum datang rupanya. Toni duduk di kursi paling depan, dagunya hampir menempel di gitar. Dia memainkan chord Flying Without Wings-nya Westlife. Tebak siapa yang mencoba jadi vokalisnya? Vanesa!
Dia duduk di samping Toni, mencoba bernyanyi mengikuti irama. Meski kelihatannya, yang bermain gitar hanya ingin bermusik sendiri.
"Prim?" Toni menghentikan petikan gitar, saat Prima ada di depannya.
"Mmh." Prima hanya menggumam.
Toni memperhatikan, kelihatannya ada yang berbeda dari sahabatnya. "Ada masalah, Prim?"
"Enggak ada," jawab Prima dengan mimik ragu.
Toni kemudian meninggalkan gitarnya dan mengajak Prima mengobrol di tempat lain. Dia tahu, pasti ada yang tidak beres.
Menyilang tangan di dada, Toni mengulangi pertanyaan yang tadi. "Lo kenapa?"
"Kinan-" lirih Prima yang terjeda.
"Kinan?" Alis Toni terangkat. "Lo ketemu sama dia?"
Prima seperti memikirkan sesuatu sebelum menjawab Toni. "Enggak. gue gak liat dia." Dia berbohong untuk pertama kali pada Toni.
"Aneh." Toni mengernyitkan alis. "Gue cariin dia dari tadi enggak ketemu."
"Ton ...." Prima mulai masuk pada inti pembicaraan. "Gue mau ikut basket. Menurut lo, gimana?" tanyanya.
Satu kalimat yang membuat Toni kehabisan kata-kata.
"Rencananya hari ini gue mau langsung gabung. Menurut lo gimana?" Prima masih menanyakan pendapat Toni soal keputusannya.
Heh! Toni berusaha untuk bahagia, senyum segar yang ia tampilkan kelihatan dipaksakan. Terlihat tidak natural.
"Yah pasti gue dukung, lah! Kalau gitu tunggu apa lagi, cepet sana ke aula. Tunjukkin siapa Prima itu!"
"Serius lo enggak apa-apa?" Prima meragukan Toni. "Kalau gue gak satu ekskul dengan lo, siapa nanti yang bantu kalau lo merasa sakit atau perlu bantuan?"
"Cerewetnya! Pergilah ke aula, supaya lo enggak ketinggalan sesi latihan."
"Jangan pura-pura tegar. Gue mau, lo jawab yang jujur. Gue punya tanggung jawab di sini."
"Memangnya lo ikutin gue terus, gue sembuh?" Toni mendorong Prima agar segera menuju aula basket. "Sana ke aula!"
"Toni!" Prima tetap tidak tega. Toni bisa saja kelihatan segar dan sehat, padahal dia bisa drop tiba-tiba.
"Bodo! Gue males debat. Kalau lo memang mau ikut, gue seratus persen dukung." Toni tinggalkan Prima yang masih ragu. "Good luck!" katanya tanpa menoleh.
Kembali ke tempat duduk, Toni mengambil gitarnya.
"Lanjut?" katanya pada Vanesa.
Vanesa mengerling pada Toni, rasanya tak percaya Toni mau bicara dengannya. "Ok!" katanya lalu mulai bersenandung.
Prima mematung di tempat. Melirik Toni, dia kelihatan sibuk dengan alat musik petik tersebut.
Maaf. Prima putuskan untuk menuruti keinginannya.
Dia ke aula. Sepanjang langkah memikirkan tentang keputusannya hari ini.
Toni lihatlah siapa yang pura-pura tersenyum hari ini, dan siapa yang telah berubah menjadi bedebah.