PRIMA BERANGKAT menggunakan motor menuju rumah Kinan. Sebuah kado sudah dia siapkan untuk Ido. Tujuannya, apalagi, kalau bukan menarik simpati gadis polos tersebut. Meski sebenarnya, Prima tak ada niat untuk menikung Toni. Hanya mencoba untuk lebih akrab dengan Kinan, itu sudah cukup.
Memacu kendaraan pada kecepatan enam puluh kilometer per jam, Prima membelah jalanan yang lumayan ramai.
Setelah melewati jalan raya, mengambil arah kiri di persimpangan dekat pertokoan, dia mengikuti jalan sampai masuk ke dalam kompleks perumahan.
Perjalanannya berakhir ketika dia sampai di rumah berpagar hijau no 34 A. Mengeluarkan ponsel dari kantung celana, Prima menghubungi Kinan.
"Gue di depan, bisa keluar sebentar gak? Takut salah rumah."
Dari alamat yang diberikan Maya, kelihatannya sudah benar. Namun, dia harus memastikan lebih dulu. Akan jadi hal yang lucu jika dia salah rumah.
"Prim!" Kinan memanggil. Dia melambaikan tangan dari ambang pintu.
Syukurlah, ternyata tidak salah rumah. Langsung saja dia masukkan motornya ke pekarangan rumah Kinan.
"Nyasar enggak, Prim?" Kinan bertanya sesaat setelah Prima turun dari motor.
"Enggak, gampang dicari. Kalau begini, mungkin gue bisa main setiap hari."
Kinan menjadi kikuk mendengar Prima bicara seperti itu. Apalagi dia mengatakannya dengan ekspressi datar.
"Itu pun kalau yang punya rumah ngijinin," sambungnya.
"Langsung masuk, Prim." Kinan menunjuk ke dalam rumah.
◆○◆
Prima memberikan hadiah pada Ido. "Untuk kamu."
"Whooa! Untuk Ido, Kak?" tanyanya.
Prima hanya mengedip, pertanda iya.
"Makasih banyak, Kak." Kelihatannya, adik Kinan itu sangat senang.
Kinan datang dari belakang membawa segelas minuman dan menyuguhkannnya untuk Prima--yang sedang duduk beralas karpet di ruang tengah.
"Boleh buka sekarang?" Ido tampak antusias.
"Silakan."
Ido menyobek kertas kado yang jadi pembungkus, Kinan memperhatikan sambil memegang nampan yang ia gunakan untuk membawa minuman tadi.
"Jersey!" ujar Ido, "ini warna favorit Ido. Makasih, Kak."
"Sama-sama."
Ido beranjak dari tempatnya, menuju kamar. Ia bercermin ketika menggunakan jersey hadiah dari Prima. Selanjutnya dia pamerkan jersey baru itu kepada teman-temannya yang berada di ruang depan.
Kinan kelihatan seperti orang bingung. "Makasih banyak, Prim. Tapi harusnya kamu gak usah repot-repot kayak gini."
Prima menggaruk perlahan kepalanya. Dia bisa lakukan lebih dari ini, jika punya kesempatan.
"Utang aku ke kamu aja masih banyak, Prim."
"Gue enggak pernah anggep itu sebagai utang, karena ...."
"Primaaaaa!" Suara sumbang Maya mengacaukan obrolan mereka berdua.
"Maya?" Prima menyapa dengan sebelah alis naik.
"Iya. Gue emang udah dari pagi di sini, maklum udah disewa," jawabnya.
Maya memperhatikan apa saja yang sudah disediakan Kinanti untuk Prima.
"Nan!" Dia menegur Kinan. "Udah disuguhin makan belum?"
"Ooh iya, maaf lupa." Kinan seperti orang yang baru sadar. "Bentar yah, Prim."
"Enggak usah repot-repot, nanti gue ambil sendiri.
"Eiit Sssstt!!!" Dengan telunjuknya Maya menyuruh Prima yang hendak bangun untuk duduk kembali.
"Lo di sini aja, ya, Prim, biar gue sama Kinan yang nyiapin. Lo mau menu pembuka apa, ada batagor, siomay, tekwan, baso atau mie ayam?"
Kinan melongo, menu apa yang sebenarnya Maya katakan. Padahal, hari ini keluarganya menyiapkan prasmanan makan siang, kue dan juga buah. Yang lain disebutkan tadi tidak ada.
"Apa aja."
"Okeh! Kalau gitu kita siapin kue aja. Karena kalau yang lain kudu beli dulu ke depan. Haaa ...." Maya tampak senang membuat Kinan panik.