HARI SELASA. Sesuai kesepakatan, Kinan menemani Toni pergi. Dia bilang mau pergi ke taman kota, karena di sana ada komunitas street ball yang akan beraksi.
Lucu juga, jika dia tidak suka basket dan tak mau main basket, kenapa mau menonton street ball?
Dan satu hal lagi yang membuat Kinan bertanya-tanya, jika Toni mau menuju taman kota, kenapa dia harus menemui Toni di jalan Pahlawan. Padahal, itu masih jauh dari taman kota. Sekitar satu kilo meter.
"Lo jalan lama banget, Asisten!" ucap Toni yang berada di depan Kinan. Dia seenaknya melenggang di depan, tanpa memperhatikan Kinan yang terseok-seok menyusulnya.
"Kalau kita mau ke taman kota, kenapa tadi kamu suruh aku untuk temuin kamu di jalan Pahlawan. Ini lumayan jauh kalau jalan." Akhirnya Kinan berani mengungkapkan isi hatinya.
Toni berhenti, dia memutar badan seratus delapan puluh derajat berjalan menuju arah Kinanti. Kinanti mundur satu langkah ketika Toni hampir mendekat.
"Lo bener. Kita udah jalan lumayan jauh," katanya sok perhatian. Toni mulai memperhatikan, bulir-bulir keringat yang berada di dahi Kinanti. "Lo pasti capek banget, ya?"
"Huh?" Kedua alis Kinan naik. Dia tak menyangka Toni akan perhatian dengannya. "Lu-mayan, sih ..." jawabnya terbata.
"Ohh!" Toni mengangguk perlahan. "Kalau lo capek," katanya sambil mengarahkan telunjuk tepat di wajah Kinan, "apalagi gue!" Toni mengeluarkan senyum liciknya.
Habislah Kinan! Bisa ditebak, Toni pasti mau mengerjainya lagi.
"Kalau gitu, beliin gue minum. Sekarang!" Toni menjetikkan jarinya.
"Gue tunggu lo, di situ." Toni menunjuk halte bus. Di sana lumayan nyaman, ada tempat untuk duduk dan teduh dari matahari. "Cepetan, ya!"
Menyebalkan! Kinan bergumam. Dia pergi ke sebrang jalan untuk membeli dua teh dalam kemasan kotak. Dia harus merogoh kocek sepuluh ribu rupiah untuk minuman tersebut.
Usai membeli.
"Nih!" Kinan serahkan minuman yang dia beli pada Toni.
"Makasih." Toni menyambut pemberian asistennya.
Kinan langsung meneguk minumannya dalam posisi berdiri, membuat Toni geleng-geleng kepala.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Lo ini, mau mati muda, ya?"
Kinan terperangah, sebal rasanya mendengar Toni berkata demikian tanpa sebab. "Maksudnya?"
"Itu ...." Toni menunjuk ke minuman yang Kinan pegang.
"Minumannya beracun?" Kinan panik.
"Bukan, bodoh!" ketus Toni. Yang benar saja, dia sebodoh itu.
"Kalau lo minum sambil berdiri, air yang lo tenggak itu akan langsung turun ke dalam perut tanpa melewati usus. Lo bisa kembung, tau!"
Kinan memandangi minumannya dan mulai berpikir, apakah Toni sedang mengerjainya lagi atau benar menasihatinya.
"Lebih parah lagi," lanjut Toni. "Kalau air itu langsung turun ke ginjal atau paru-paru lo. Dua organ tubuh lo itu bisa rusak."
"Yang bener?" Kinan masih tak percaya. "Tapi, iklan di tivi ...." Dia jadi bingung sendiri. Karena hampir semua iklan minuman di televisi menunjukkan cara minum sambil berdiri. Jujur saja itu kelihatan lebih segar dan menghipnotis penonton. Serasa tenggorokan jadi kering dan ingin minum juga.
"Terserah kalau gak percaya," Toni menunjukkan wajah acuh tak acuhnya.
Apa boleh buat, Kinan yang sungguh tak tahu kebenaran dari ucapan Toni memilih untuk duduk saat menghabiskan minumannya.
"Buang, nih!" Toni menyerahkan sampah minumannya. "Jangan buang sembarangan, ya!" Dia kemudian meninggalkan tempat duduknya untuk melanjutkan perjalanan.
"Cepet jalan!" perintah Toni.
Saat Toni melirik Kinanti, dia justru sibuk menarik dan membuang napas berulang-ulang. Menurut informasi yang Kinan dengar, itu bisa membantu meredam emosi.
Yah wajar, bukan, jika dia merasa emosi sekarang. Toni benar-benar menguji kesabarannya.