"PRIMAAA!" Maya berteriak sangat kencang di babak ke dua pertandingan. Dia tak bisa diam. Melonjak-lonjak setiap kali ada yang memantulkan bola. Kinan yang berada di sebelahnya, cuma bisa menutup kedua telinga dengan jari telunjuk.
Sejujurnya dia curiga, jangan-jangan ada speaker di tengah tenggorokan Maya. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia punya jeritan super bising seperti itu.
Kembali pada pertandingan. Hari ini, Prima bergabung dalam Tim Elang yang terdiri dari dirinya, Rifki, Deni, Eza dan Suluh. Mereka melawan Tim Garuda yang terdiri dari Wayan, Bagus, Nata, Bio dan Agung. Skor lumayan sengit, kedua tim saling susul.
Kinan menonton pertandingan karena Prima yang mengundangnya. Padahal dia bukan tipikal orang yang suka basket. Mengerti juga tidak dengan permainan asal Amerika itu.
Di arena pertandingan, mereka bisa lihat Prima dengan tubuhnya yang penuh keringat, mengoper bola pada Deni. Deni menyambutnya, dia lembungkan bola ke dalam keranjang lawan. Sayang meleset.
"Haakhh!" Maya kembali histeris. "Kenapa juga Deni gak masukin bola. Huh!" Dia justru lebih jengkel ketimbang Prima yang bermain di bawah sana.
"Kamu heboh sendiri, May. Harusnya, kamu masuk tim pemandu sorak. Biar bisa turun di bawah sana sambil teriak-teriak."
"Jangan nyindir gue!" Maya menoleh sebentar ke Kinan. "Makanya gue cuma bisa teriak-teriak di sini, karena ditolak gabung kemarin."
Kinan tertawa. "Mereka rugi besar menolak kamu. Kamu punya modal speaker di tenggorokan, mereka gak tau itu."
Sejurus kemudian, teriakan penonton terdengar riuh di aula. Bahkan Maya belum sempat membalas ucapan Kinan. Saat melihat papan skor, angkanya sudah berubah. Skor 18-20, keunggulan untuk tim Garuda. Maya ketinggalan pertandingan karena diajak ngobrol. Dia tak tahu siapa yang sudah menambah skor untuk tim lawan.
"Kinaaan!" Maya menggenggam kepala Kinan seperti bola. "Jangan ajak gue ngobrol lagi. 'Kan, gue gak tau tadi siapa yang masukin bola dalam keranjang!"
"Oke. Aku minta maaf."
Maya melepaskan cengkaramannya. Ayolah ... ayolah, dia membatin.
Sedangkan Kinan mengusap- usap pipinya yang sedikit terasa sakit.
"Demi dukung kelas kamu, kamu sampai nyakitin temen sendiri." Drama dimulai. "Jahat ...," tambahnya.
"Iya, deh, iya. Gue minta maaf. Sebagai gantinya, gue traktir lo makan mie ayam pulang nanti."
Kinan semringah. Siapa yang bisa menolak ditraktir makan. Sayangnya, ucapan Maya itu belum selesai. Saat mendengar akhirnya bagaimana, sungguh mengecewakan.
"Gantian, lo yang traktir gue baso sama es campur. Jadi kita saling traktir namanya. Hehehe."
Kinan memanyunkan bibir. "Kamu gak pernah serius, May, aku tau itu."
"Pernah. Waktu ujian nasional, gue serius banget ngerjainnya. Hee."
Astaga ....
Terserahlah dengan bagaimana pertandingan, ada hal yang lebih penting untuk diperhatikan menurut Kinan. Siapa lagi kalau bukan ... Toni.
Dia duduk di tribun sebrang sana, bersama anak-anak kelas A lainnya. Baru kali ini, Kinan bisa melihat Toni begitu semangat. Dia juga bisa berteriak, yah meski tak sehisteris Maya.
Teriakan Toni terlihat lebih menawan. Dia beri semangat pada Prima yang sedang bertanding.
"Kalau lo yang main basket, pasti semua cewek bakal dukung lo." Vanesa beraksi, mengajak Toni ngobrol dan berusaha mendapatkan perhatian darinya.
Hmh, hanya senyum simpul yang Toni suguhkan.
"Tim Elang kelihatannya lemah, sudah babak ke dua. Skor masih ketinggalan," sambung Vanesa.
"Prima memang begitu ...." Akhirnya Toni mau meladeni Vanesa. "Dia selalu kelihatan lemah di dua pertandingan awal. Tapi, lo bakal liat kegarangannya sebentar lagi."
Vanesa tersenyum puas, bukan karena tentang Prima atau pertandingannya. Namun kerena akhirnya Toni mau meladeninya.
"Minum?" Vanesa menyodorkan satu botol air untuk Toni.