MENENGOK Toni sepulang sekolah, Prima justru melihat Jena tengah tersedu sedan seorang diri di depan ruang rawat Toni.
"Tante?" Dia bergegas menghampiri.
Jena membersit hidungnya. "Prim," katanya dengan suara serak.
Prima menatap Jena prihatin. "Prima mau dengerin, kalau Tante mau cerita."
Jena membalikkan badan, lalu menyandarkan tubuhnya ke tombok. Helaan napasnya terdengar berat, sambil sesekali air matanya jatuh lagi.
"Kondisi Toni semakin buruk, Prim. Dia .... " Jena tercekat.
Prima diam sejenak. Saat ini dia bingung harus berkata apa, untuk menenangkan Jena.
"Tapi, Toni masih bisa sembuh, 'kan?"
"Sumsum tulang belakang kami enggak cocok Prim-" Jena kelihatan putus asa. "Dokter bilang, dia harus dikemotheraphy."
"Kalau gitu, kita masih bisa menolong Toni."
Jena mengangguk, dengan derai air mata yang mengalir. "Tante juga berharap begitu."
"Masih ada jalan, Toni pasti sembuh." Prima meyakinkan.
Jena masih menangis. Beberapa saat kemudian, dering ponselnya terdengar.
"Om Sandi," ucapnya perlahan pada Prima. "Tante tinggal dulu, ya," Jena menepuk lengan Prima sebelum pergi.
Prima masuk ke ruang rawat Toni, selagi Jena pergi. Begitu masuk, seketika dia terkesiap, karena Toni mencabut jarum infus dari tangannya.
"Toni, hei!" tegurnya, "lo gila?" Prima berusaha menghentikan aksi Toni.
"Gue mau keluar, Prim. Minggir!" Toni turun dari tempat tidur.
"Lo sakit, Ton!"
"Iya! Kenapa?" Toni menyalak. Dua alisnya terangkat naik, menantang Prima untuk jelaskan apa yang salah darinya.
Menenangkan diri, Prima berusaha agar tidak terpancing emosi.
"Toni, gue tau lo sedih. Tapi, nggak gini."
Toni menggeleng. "Lo nggak tau, Prim!"
Toni berjalan keluar. Dia tahu, ibunya menangis lagi. Tidak ... dia tak bisa menerimanya. Air mata ibunya menetes terus-menerus karenanya. Toni akan buktikan bahwa dr. Ridwan salah. Dia sehat, dia kuat. Itu yang diyakininya.
Sayang, semua hanya harapan.
Toni hilang keseimbangan, sebelum sampai dia keluar dari ruangan. Tubuhnya gemetaran. Takut melanda ke dalam jiwanya. Demi apa, sekarang dia begitu lemah?
"Toni!" Prima hendak menolongnya, tetapi dicegah.
Toni berusaha bangun. Namun dia sangat kesusahan.
Mana tenaganya?
Mana semua hal yang dulu bisa dia lakukan?
Ke mana semua itu?
Apa, Tuhan sengaja mengambilnya?
Prima kemudian duduk berjongkok di belakang Toni.
"Gue tau, lo takut hadapin ini. Tapi, kita semua masih berusaha supaya lo bisa sembuh."
Toni meremat jemarinya yang menempel di lantai.
"Buat lelucon, Prim!" Tiba-tiba dia berkata itu.
Menunggu beberapa saat, yang ada hanya kekosongan.
Saat tak ada kata yang keluar dari mulut Prima, Toni kembali berujar, "Buat lelucon!" teriaknya. "Tentang ikan, sekolah, Kinan, atau apa aja. Bohong juga enggak apa-apa!"
Prima tidak juga bicara apa-apa.
"Gue lupa caranya tersenyum, Prim." Toni tersedu. Dia lekatkan pipinya ke lantai yang dingin sambil menggeru. "Ini sakit, Prim. Lo nggak tau itu!"
Prima tahu rasanya. Berat pasti, jika berada di posisi Toni. Ketakutan terus mengikuti. Kematian yang membayangi. Namun, menyerah bukanlah pilihan terbaik.
Biar, dia memberikan waktu pada Toni untuk menumpahkan semuanya. Mempersilakan sahabatnya, mengeluarkan semua yang dia tutupi selama ini.