"GUE enggak habis pikir Prima bisa begitu!" Maya mengajak Kinan ngobrol saat pulang sekolah. Sama seperti anak-anak yang lain, mereka harus berjalan beberapa meter untuk mendapatkan angkutan umum.
"Untung aja, tadi Deni berhasil nenangin Prima, kalau enggak ...." Maya mengepalkan tangan, lalu meninjukan ke tangannya sendiri, "bisa habis tuh, Fabian!"
"Lagian juga Fabian, udah tau Toni lagi sakit, malah dijadiin bahan bercandaan." Maya menendang kerikil-kerikil yang ada di jalan.
Sebetulnya dia mengajak bicara Kinanti yang ada di sampingnya. Sayang, bukannya mendengarkan, pikiran Kinan justru melanglang buana entah kemana.
Banyak hal yang ia pikirkan. Tentang Prima dan juga kabar Toni.
"Nan! Lo dengerin gue ngomong enggak, sih?" Maya menepuk pundak temannya tersebut.
"Dari tadi gue ngomong diem aja. Pasti lagi ngelamun, ya?"
Bak orang yang baru bangun tidur, Kinan mengusap wajah.
"Maaf, May, aku lagi enggak konsen tadi. Pikiranku lagi terbagi."
Kinan menghela napas. "Aku kepikiran soal Prima dan juga Toni."
Maya menaikan sebelah alis menunjukkan gaya 'yeah, gue tau'-nya.
"Tadi aku nemuin Prima. Dia bentak aku, May."
"Prima? Bentak lo?" Maya membelalakkan mata, seolah tak percaya dengan apa yang Kinanti katakan.
Kinan mengangguk. "Dia marah sama aku. Sebetulnya ada apa ya dengan dia? Dan kita pernah mikir gak, kenapa Prima selalu mau diperintah Toni?"
Maya mengernyitkan alis. "Iya juga, sih."
"Kelihatan kayak bukan temen. Tapi mirip pengawal. Iya, enggak?"
Maya mengangkat pundaknya. "Enggak tau, mungkin Prima memang tipe teman yang setia."
Alis Kinan berkerut. Rasanya sedikit tidak masuk akal kalau cuma itu alasannya.
Tenggorokan Maya tiba-tiba saja terasa kering di sela-sela obrolan mereka. Kebetulan ada penjual es dawet di dekatnya.
"Nan, mau es, enggak? Sekalian gue beliin, nih."
Mnggeleng, Kinan menolak tawaran Maya. "Kamu aja. Aku tunggu di sana, ya." Dia menunjuk ke arah pohon mangga yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Oke."
Maya kemudian memesan satu es untuknya pada si penjual. Harus bersabar karena yang beli lumayan ramai.
Kinan menunggu Maya, tepat di bawah pohon mangga seperti yang ia janjikan.
Terdengar suara mendesis. Dia tolehkan kepalanya ke sana-kemari mencari sumber suara. Bergidik, Kinan merasa ngeri.
Masa sih siang begini ada hantu?
Seseorang yang mendesis tadi, mengambil kerikil kecil dan menimpukan ke arah Kinan.
Gadis itu memekik. Dengan geram dia berusaha menemukan siapa pelakunya.
Maksud awal ingin tanya apa alasannya, saat Kinan melihat sosok pria yg berdiri di samping mobil sedan berwarna silver, dia urungkan niatnya.
Seorang laki-laki beperawakan tinggi, mengenakan hoodie jacket warna biru dongker, dan munutupi wajah dengan masker itu kelihatan tak asing baginya. Sebetulnya dia kelihatan aneh, karena siang hari bolong yang panas begini dia malah pakai baju serba tertutup.
"Toni?" Ragu-ragu Kinan mendekat.
"Asisten, cepetan ke sini! Nanti keburu ada yang liat."
Mendengar suara pria tersebut, Kinan yakin kalau itu Toni.
"Katanya kamu sakit?" tanyanya saat berada di dekat Toni.
Sstt! Toni merapatkan satu jarinya ke bibir. "Bahas itu nanti aja. Sekarang ikut gue!" Toni membuka pintu belakang mobil. Dia memicingkan dagu, menyuruh Kinan masuk.