MOUNT ELIZABETH Hospital, Singapur, merupakan salah satu rumah sakit terbaik untuk menangani pasien kanker. Jika kalian pernah melihat infotainment atau berita, pasti sering mendengar sejumlah artis atau tokoh penting berobat ke sana. Biaya menginap di sana terbilang mahal, bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Di sanalah, Toni dirawat.
Satu hari setelah dia mendapatkan kamar, Toni sempat mengalami pendaharan. Mulut dan gusinya terus mengeluarkan darah, mulai dari tengah malam sampai pukul empat pagi. Beruntung, dokter yang bertugas bisa menanganinya.
Sekarang dia harus menjalani beberapa tes sebelum memulai kemoterapi. Mulai dari tes darah berupa pemeriksaan hemoglobin (Hb), leukosit dan trombosit. Normalnya jumlah Hb dalam tubuh manusia minimal 10gram/dL, leukosit minimal 3.000, dan trombosit minimal 100.000. Sebelum kemo, dokter harus tau jumlah Hb, leukosit dan trombosit darah dalam tubuh Toni. Semuanya harus berada dalam kondisi normal atau mendekati normal. Bukan hanya itu saja, Toni juga harus mengecek kondisi hati, paru-paru dan jantungnya.
Toni merasa kelelahan juga kesepian. Biasanya setiap kali dia merasa penat dan tersiksa, dia selalu membuat joke dengan Prima dan berdebat dengannya. Pedas memang kedengarannya, tapi setidaknya perdebatan itu yang sedikit mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit.
Sudah berapa lama di sini pun, dia tak menghitung. Toni hanya tahu, dia sudah menjalani serangkaian tes yang melelahkan.
°•°
Bosan di dalam kamar, Toni memilih untuk turun dari ranjang dan berjalan-jalan sebentar. Toni raih, botol infus yang menggantung di atas. Tertatih dia coba berjalan, merambat sambil berpegang pada seadanya benda yang dia temui.
Toni berada di daun pintu, ia coba buka perlahan. Namun, betapa terkejutnya dia tatkala mendengar percakapan antara ayah dan ibunya.
Remaja tampan yang tengah berjuang melawan maut itu menutup kembali daun pintu, tetapi tak sampai rapat. Ada celah sedikit, sehingga dia masih bisa mendengar obrolan ayah dan ibunya.
"Apa kamu yakin akan berhenti kerja?" tanya Jena, pada Sandi yang duduk di sampingnya.
Sandi menghela napas. Berat memang memutuskan untuk berhenti. Namun, demi Toni, dia harus lakukan itu. Dia tidak mau kehilangan waktu bersama putranya.
"Aku ingin punya waktu lebih banyak dengan Toni."
"Gimana dengan biaya berobat Toni, Sayang? Kamu tau, 'kan, tabungan kita sudah terkuras. Kalau kamu tidak bekerja, dari mana kita mendapatkan uang?"
"Ada ayahku yang bisa bantu biaya berobat Toni."
"Tapi, kita tidak mungkin bergantung pada ayahmu terus."
"Kalau kita jual mobil Jaguar milik kita, kamu keberatan?" tanya Sandi dilema.
Jena menggeleng. "Tidak masalah, Sayang. Tapi, kamu sudah dengar, 'kan? Dokter bilang kalau penyakit Toni bisa dikatakan tidak ada obatnya. Proses kemo pun, tidak ada kepastian sampai kapan." Jena mulai menunjukkan raut kesedihan. "Kita juga tidak boleh lupa, kalau masih ada Ananta."
"Aku tidak melupakan Ananta putraku, bahkan Prima. Aku sudah menyisihkan biaya untuk pendidikan mereka. Untuk sekarang aku hanya ingin fokus pada kesembuhan Toni."
Sandi merengkuh pundak istrinya. "Kita korbankan segalanya. Kita jual mobil, perhiasan, bahkan rumah kita. Kalau pun nantinya kita hidup miskin, tidak masalah, bukan?"
Jena hanya mengangguk.