Minggu, 24 Maret 2024 Nusantara Business Institute (NBI), BSD Pukul 09:00 WIB
Matahari BSD pagi itu terik, jenis panas yang nusuk kulit dan bikin aspal parkiran kampus menguapkan hawa panas yang bikin pusing. Tapi entah kenapa, atmosfer di Nusantara Business Institute terasa lembap dan dingin. Bukan dingin AC, tapi dingin yang lengket, seolah-olah sisa-sisa kejadian semalam di kosan putri masih nempel di udara, nolak buat pergi.
Derry memarkirkan Nmax hitamnya di slot biasa, di bawah pohon angsana yang daunnya mulai rontok. Dia melepas helm, menyugar rambutnya yang lepek kena keringat, dan langsung disambut oleh pemandangan yang nggak biasa.
Biasanya jam segini, parkiran belakang penuh suara knalpot motor yang geber-geber, teriakan mahasiswa yang telat, atau obrolan receh soal mabar semalam. Tapi hari ini, suaranya beda. Gumaman. Bisik-bisik. Puluhan mahasiswa bergerombol dalam kelompok-kelompok kecil, kepala mereka menunduk menatap layar HP masing-masing dengan ekspresi campuran antara jijik dan penasaran.
Derry baru aja mau nyalain rokok ketika bahunya ditepuk keras.
"Gila, Der. Gila. Lo udah liat belum?"
Benny Hermawan. Sobatnya yang paling loud, paling annoying, tapi juga paling setia kawan. Hari ini, muka bulat Benny yang biasanya cengengesan kelihatan agak tegang, meski dia berusaha nutupin pake gaya swag-nya yang maksa—kemeja flanel kotak-kotak yang kancingnya dibuka, mamerin kaos hitam di dalamnya.
"Liat apaan? Gue baru sampe," jawab Derry datar, menjepit rokok di bibir tapi belum dinyalain.
"Andrea," bisik Benny, tapi volumenya masih cukup kenceng buat didenger orang sebelah. "Anak Pariwisata yang cakep itu. Lewat, Bos. Semalem."
Derry terdiam. Korek apinya mati di tangan. "Meninggal?"
"Bukan meninggal biasa, Cuk. Suicide," Benny mendekat, suaranya turun satu oktaf jadi nada konspirasi. "Tapi... versinya simpang siur. Polisi bilang gantung diri. Tapi lo tau Pak Tarno kan? Satpam depan yang demen banget ngopi sama penjaga kosan?"
Derry mengangguk pelan, mulai ngerasa nggak enak perut.
"Pak Tarno bilang... Mbak Widi—penjaga kos Andrea—ngeliat sendiri mayatnya. Katanya..." Benny nelen ludah, jakunnya naik turun. "Katanya matanya Andrea nggak ada. Copot. Kayak ditarik paksa."
"Jangan ngawur lo," potong Derry tajam. Sifat skeptisnya langsung nyala. "Itu pasti bumbu-bumbu gosip doang. Orang gantung diri emang kadang matanya melotot, pembuluh darah pecah. Nggak usah didramatisir jadi film horor."
"Ye, si anying dibilangin ngeyel," Benny nyolot, tapi tangannya sibuk nge-scroll grup WhatsApp angkatan yang notifikasinya jebol kayak air bah. "Nih, lo baca sendiri grup 'Nongkrong Yuk'. Udah pada heboh. Katanya ini gara-gara video TikTok terkutuk itu."
"Video apa?"
"Itu loh, challenge 7 hari. Katanya kalo lo nonton video paduan suara tahun 50-an yang muncul di FYP lo, lo bakal mati dalam seminggu." Benny ketawa, tawanya kering dan sumbang. "Kocak banget nggak sih? Hari gini percaya gituan? Algoritma bisa bunuh orang? Yang ada tuh si Andrea kena mental, depresi, terus orang-orang pada nyocoklogi sama video viral."
Derry akhirnya nyalain rokoknya, ngisep dalem-dalam buat nenangin sarafnya. Asap putih mengepul ke udara. "Nyocoklogi atau enggak, ada orang mati, Ben. Kurang-kurangin lah becanda lo."
"Gue nggak becanda, gue realistis," bela Benny, meski kakinya nggak bisa diem nendang-nendang ban motor orang. "Gue cuma bilang, anak-anak kampus kita ini terlalu gampang kemakan hoax. Liat noh."
Benny nunjuk ke arah lobi fakultas pake dagunya.
Di sana, Nancy Hudgens lagi jalan dikelilingi dua dayang-dayangnya. Cewek blasteran Sunda-Amerika itu biasanya jalan kayak model di catwalk, dagu diangkat tinggi, outfit on point. Tapi hari ini, Nancy kelihatan... human. Bahunya agak turun. Dia pake kacamata hitam gede, mungkin buat nutupin mata sembap.
Nancy berhenti sebentar, ngeliat ke arah mading di mana ada pengumuman dukacita yang baru ditempel. Kertas putih polos dengan foto Andrea yang tersenyum ceria. Kontras banget sama nasibnya semalam.
"Tumben si Queen Bee nggak nyinyir," komentar Benny pelan.
"Temennya mati, Ben. Manusiawi kali," sahut Derry. Dia membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya sampai mati. "Udah ah, cabut. Kita ada kelas Bu Ratih. Lo jangan sampe telat lagi, nilai lo udah merah."
"Ah elah, Bu Ratih mah santai. Paling disuruh presentasi lagi."
Mereka berdua jalan menuju gedung utama. Tapi di sepanjang koridor, Derry bisa ngerasain tatapan-tatapan gelisah dari setiap sudut. Nggak ada tawa. Nggak ada yang main gitar di tangga. Kampus NBI hari ini berubah jadi rumah duka raksasa.
Dan jauh di lubuk hatinya, Derry ngerasa Benny salah. Ini bukan sekadar depresi. Ada sesuatu yang... jahat.
Ruang Kelas 304 - Mata Kuliah Micro Management Pukul 10:15 WIB
Suara blower AC yang berdengung jadi satu-satunya suara di ruangan itu selama sepuluh menit terakhir.
Bu Ratih belum datang. Biasanya, dosen gaul itu selalu on time, masuk kelas sambil nyapa mahasiswa dengan logat Jawanya yang medok dan senyum ramah. "Piye kabare, Rek? Tugas aman?"
Tapi hari ini, pintu kelas terbuka pelan, dan Bu Ratih masuk kayak hantu.
"Selamat pagi..."
Suaranya lirih, nyaris nggak kedengeran.
Derry, yang duduk di barisan ketiga sebelah jendela, langsung menegakkan punggung. Dia nyikut Benny yang lagi asik main Mobile Legends di bawah meja. "Taruh HP lo. Liat depan."
"Kenapa sih? Masih draft pick nih..." Benny ngedongak, dan mulutnya langsung mingkem.
Bu Ratih kelihatan kacau balau.
Blazer abu-abunya kusut, kancingnya ada yang salah lubang. Rambut bob-nya yang biasanya rapi melengkung ke dalam, sekarang mencuat acak-acakan. Tapi yang paling parah adalah wajahnya.
Pucat pasi. Abu-abu. Dan matanya... mata itu bergerak liar. Ke kiri, ke kanan, ke pojok atas ruangan, seolah-olah dia lagi nge-track pergerakan lalat yang cuma dia yang bisa liat.
"Bu? Ibu sakit?" tanya Rian, ketua kelas, dengan nada khawatir.
Bu Ratih tersentak kaget. Tas laptopnya jatuh dari bahu, menghantam lantai dengan suara GEDEBUK yang bikin satu kelas loncat kaget.
"Eh... Astaga... Maaf, maaf..." Bu Ratih jongkok buat ngambil tasnya, tapi tangannya gemetar hebat. Begitu hebatnya sampai dia kesusahan cuma buat megang tali tas.