Minggu, 24 Maret 2024 Kamar Kos Benny Hermawan, BSD Pukul 23:00 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Kamar kos Benny adalah definisi dari "bencana yang estetik".
Box pizza sisa semalam numpuk di atas CPU, kaleng minuman berenergi berjejer kayak trofi di pinggir meja, dan action figure One Piece berdebu ngawasin dari rak buku. Satu-satunya sumber cahaya cuma dari monitor PC yang lagi nayangin Valorant (AFK di lobi) dan lampu LED strip warna ungu di plafon yang kedip-kedip mau mati.
Benny ngelempar badannya ke kasur busa, mendengus kesel.
"Si Nancy bacot banget dah ah," gerutunya, ngeliat notifikasi WA yang masih rame. "Orang mah relaks dikit napa. Mati ya mati aja, ngapain dibikin drama mistis."
Jujur, Benny sebenernya agak keganggu sama kejadian di kelas tadi pagi. Teriakan Bu Ratih itu... raw. Nggak kayak akting. Tapi Benny punya mekanisme pertahanan diri yang udah teruji klinis: Denial lewat komedi. Kalau dia bisa ngetawain sesuatu, berarti hal itu nggak bisa nyakitin dia. Itu logikanya.
"Video terkutuk apaan," gumamnya sambil buka TikTok. "Palingan juga marketing film horor baru. 'The Nun 3: TikTok Invasion'. Basi."
Jempolnya mulai nge-scroll.
Scroll. Cewek joget pargoy. Scroll. Kucing jatoh dari kulkas. Scroll. Resep mie instan hack. Scroll. Cuplikan podcast orang kaya yang nyuruh orang miskin berhenti minum kopi.
"Mana nih? Katanya FYP?" tantang Benny ke layar HP-nya. "Ayo dong, Algoritma. Tunjukin ke gue. Gue mau liat setan digital bentuknya kayak apa."
Nggak ada apa-apa. 15 menit berlalu. Cuma konten sampah biasa.
Benny ketawa ngejek. "Tuhkan. Hoax. Si Angela sama Bu Ratih fix halu—"
Tiba-tiba, jempolnya berhenti.
Layar HP-nya nggak loading. Nggak buffering. Tapi freeze total. Suara musik jedag-jedug dari video sebelumnya kepotong kasar. Hening.
Lalu, layar jadi hitam pekat.
"Nah loh, HP gue nge-lag," Benny nepuk-nepuk HP-nya. "Woi, kentang banget sih ni iPhone."
Di tengah layar hitam itu, sebuah visual perlahan muncul. Fade in dari kegelapan.
Bukan video HD. Bukan 4K. Gambarnya buram, grainy, kayak rekaman TV tabung tahun 90-an yang antenanya miring. Garis-garis statis melintang di layar.
Benny diem. Jantungnya skip satu detak, tapi dia nyengir. "Anjir. Nemu juga akhirnya."
Di layar, sekelompok anak kecil berdiri kaku. Seragam putih, pita hitam. Latar belakang tembok beton kusam. Mereka nggak bergerak. Nggak kedip.
Musik mulai main.
Denting piano yang mendem. Dan suara koor anak-anak yang... dingin.
"Tonight you belong to me..."
Benny mendekatkan HP ke muka, nyipitin mata. "Editannya boleh juga nih. Pake filter vintage apa ya?"
Di video, kamera panning lambat ke wajah anak-anak itu. Benny, dengan sifat sok tahunya, malah nganalisis. "Tuh, liat. Looping-nya kasar. Mulutnya nggak sinkron sama lirik. Fix AI generation ini mah."
"Tonight you belong to me..."
Tapi saat lirik itu diulang, Benny ngerasa ada yang aneh. Udara di kamar kosnya berubah. Biasanya kamar dia panas pengap karena ventilasi ketutup poster, tapi sekarang... dingin. Dingin yang nusuk, kayak ada yang baru buka pintu kulkas tepat di tengkuknya.
Benny refleks ngusap leher belakangnya. "Anjir, AC gue bocor apa gimana?"
Dia balik natap layar. Di video, salah satu anak laki-laki di tengah barisan—anak bule dengan rambut pirang disisir rapi—menatap lurus ke arah Benny.
Dan anak itu... tersenyum.
Bukan senyum manis. Itu senyum ngejek. Senyum seseorang yang tau rahasia kotor lo.
"Way down by the stream..."
Dada Benny sesak. Rasa denial-nya mulai retak. Dia mau matiin HP-nya, tapi ego-nya nahan. Masa gue takut sama pixel?
Dia malah melakukan hal paling bodoh yang bisa dilakukan manusia di film horor.
Cekrek.
Dia nge-screenshot video itu tepat pas tulisan 7 DAYS muncul di akhir.
"Dapet lo," Benny ketawa, meski suaranya agak gemetar. "Gue viralin lo."