Kamis, 28 Maret 2024 Kawasan Kemang, Jakarta Selatan Pukul 11:00 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Matahari Jakarta lagi nggak bersahabat. Panasnya nyengat, bikin aspal Jalan Kemang Raya berasa kayak wajan penggorengan. Tapi buat Derry, Benny, dan Pak Frans, panas ini nggak ada apa-apanya dibanding dingin yang ngerambat di tulang punggung mereka.
Tim dibagi dua. Angela dan Bu Ratih ditinggal—Angela di kosan (dijagain Nancy yang akhirnya luluh), dan Bu Ratih... yah, Bu Ratih udah nggak bisa diajak keluar. Terakhir Derry denger, dosen itu udah mulai ngomong sendiri sama tembok.
"Rumahnya yang mana sih, Pak?" tanya Benny setengah teriak dari boncengan Nmax, ngalahin suara bising knalpot Kopaja.
Pak Frans, yang naik motor cruiser hitam di depan, ngasih sein kiri. "Nomor 14. Pager item tinggi. Kelihatan kayak rumah hantu."
Mereka belok masuk ke jalan kecil yang rimbun pohon beringin. Di antara kafe-kafe hits dan galeri seni modern Kemang, ada satu properti yang seolah-olah nolak buat move on dari zaman kolonial.
Rumah itu besar, gaya Indische Empire dengan pilar-pilar tebal dan jendela krepyak yang cat putihnya udah mengelupas jadi abu-abu. Halamannya luas tapi liar, rumput ilalang setinggi pinggang, dan pohon kamboja tua yang meliuk-liuk kayak tangan nenek sihir.
"Anjir," komentar Benny pas turun dari motor. "Ini mah bukan rumah saksi mata, ini markas drakula."
Derry ngelepas helm, natap rumah itu. Instingnya langsung alert. "Jaga mulut lo, Ben. Kita butuh dia."
Mereka bertiga jalan mendekati gerbang besi yang berkarat. Gemboknya kelihatan baru, kontras sama kondisi pagar.
Pak Frans mencet bel interkom tua yang ada di pilar pagar. Hening. Nggak ada suara.
Pak Frans mencet lagi. Tiga kali. Masih hening.
"Mungkin orangnya udah meninggal, Pak," celetuk Benny pesimis. "Artikel itu kan tahun 98. Siapa tau..."
Krek.
Suara speaker interkom nyala. Suara statis kasar, diikuti suara serak, berat, dan gemetar.
"Siapa?"
"Pak Willem?" panggil Pak Frans sopan tapi tegas. "Nama saya Fransiskus. Saya dosen dari NBI. Saya datang bersama dua mahasiswa saya. Kami... kami ingin bertanya soal tahun 1956."
Hening lama di seberang sana.
"Pergi," jawab suara itu dingin. "Saya tidak terima tamu. Apalagi wartawan."
"Kami bukan wartawan, Pak!" teriak Derry, mendekat ke interkom. "Teman kami meninggal! Namanya Andrea. Dia mati setelah nonton video paduan suara Bapak!"
Suara statis di interkom berhenti mendadak. Lalu, ada suara langkah kaki berat diseret di atas kerikil dari balik halaman.
Pintu gerbang kecil di samping gerbang utama terbuka pelan.
Berdiri di sana, seorang pria tua yang bener-bener tua. Willem Hendrik Vandenberg. Umur 82 tahun. Rambutnya putih tipis, kulitnya penuh bintik hati, badannya kurus kering dibalut kemeja batik lusuh yang kegedean. Dia bertumpu pada tongkat kayu eboni.
Tapi matanya... mata itu biru pudar, tajam, dan penuh ketakutan purba.
Willem menatap mereka bertiga satu per satu. Tatapannya berhenti lama di Benny, lalu pindah ke Pak Frans, dan terakhir ke Derry.
Dia mundur selangkah, tangannya yang keriput gemetar hebat di gagang tongkat.
"Kalian..." bisik Willem, suaranya tercekat. "Mata kalian... kalian sudah 'ditandai'."
"Pak, tolong kami," mohon Angela—eh, salah, Derry. Derry yang mohon. "Kami nggak tau harus apa. Kami dikejar waktu."
Willem menggeleng keras. "Tidak. Tidak! Pulang! Jangan bawa 'dia' ke sini! Saya sudah sembunyi 70 tahun!"
Willem mau nutup gerbang lagi, tapi Pak Frans dengan sigap nahan pintu besi itu pake tangannya.
"Pak Willem!" bentak Pak Frans. "Kalau Bapak tutup pintu ini, kami mati. Tiga nyawa lagi melayang. Bapak mau nambah dosa lagi dari tahun 56?"
Willem membeku. Kalimat itu nampar dia telak.
Benny, yang biasanya cengengesan, tiba-tiba maju. Wajahnya pucat, keringat dingin ngucur. "Pak... saya takut, Pak. Tangan saya udah nggak kerasa lagi. Tolong, Pak. Gue... saya nggak mau mati kayak temen saya."
Willem natap Benny. Dia ngeliat ketakutan murni di mata anak muda itu. Ketakutan yang sama yang dia rasakan waktu dia umur 8 tahun.