Jumat, 29 Maret 2024 Gereja Santo Fransiskus Xaverius, Jakarta Pusat Pukul 14:00 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Gereja itu tua, kokoh, dan intimidatif. Arsitektur Neo-Gothic dengan menara lonceng yang menjulang nusuk langit mendung Jakarta.
Bagi orang biasa, tempat ini damai. Tapi bagi Benny, begitu dia nginjekin kaki di halaman gereja, rasanya kayak masuk ke dalam oven microwave.
"Anjir, panas banget," keluh Benny, narik kerah kemejanya. Keringat sebesar biji jagung ngucur deres dari pelipisnya. "AC-nya mati apa gimana?"
Derry ngelirik Benny dengan khawatir. Udara sebenernya adem, angin sepoi-sepoi. "Ben, udaranya dingin. Itu badan lo yang nolak."
"Seriusan? Gue kayak vampir dong?" Benny nyoba ketawa, tapi suaranya serak. Kulit di tangan kanannya—yang ada bekas cengkeraman kecil kemarin—sekarang warnanya merah meradang, kayak habis kesiram air panas.
Pak Frans jalan duluan, langkahnya tegap. Dia udah bikin janji lewat koneksi lamanya di keuskupan.
Mereka masuk ke ruang pastoral di samping gedung utama. Bau dupa dan lilin menyengat hidung. Di sana, duduk di balik meja kayu jati yang penuh buku tebal, seorang pria nunggu mereka.
Pendeta Rafael Ignatius (48). Dia nggak kayak pendeta di film-film yang tua dan rapuh. Rafael badannya tegap, bahu lebar, rambut slick-back rapi dengan uban di pelipis. Dia pake kemeja hitam dengan collar putih terselip di leher. Kacamata frame hitam tipis ngebingkai mata yang tajem dan analitis—mata seorang prajurit, bukan cuma pendoa.
"Pak Fransiskus," sapa Rafael, suaranya bariton berat. Dia nggak senyum, tapi jabat tangannya kenceng.
"Romo Rafael," balas Pak Frans. "Ini mahasiswa saya. Derry dan Benny."
Rafael natap Derry sekilas, lalu matanya terkunci ke Benny. Dia nyipitin mata.
"Kamu," tunjuk Rafael ke Benny. "Jangan berdiri di situ. Mundur dua langkah dari salib di dinding. Kamu bikin Holy Water saya mendidih."
Benny langsung loncat mundur, nabrak lemari buku. "Waduh. Maaf, Romo. Saya... saya nggak sengaja."
"Duduk," perintah Rafael. "Ceritakan. Singkat, padat. Saya tidak punya waktu untuk dongeng."
Derry maju, ngeletakin HP-nya di meja. Dia nunjukin foto screenshot video itu, foto Kakek Willem, dan catatan kecil yang mereka dapet: Nathaniel van der Meer, 1956, Pulo Gadung, Olivier.
Begitu denger nama "Olivier", ekspresi Rafael berubah. Dia yang tadinya tenang, langsung tegang. Dia ngelepas kacamatanya, mijit pangkal hidungnya.
"Olivier," desis Rafael. "Kalian... kalian gali kuburan masal."
"Romo kenal?" tanya Derry.
Rafael berdiri, jalan ke rak buku, narik sebuah buku tua bersampul kulit hitam. Demonology.
"Olivier bukan hantu penasaran. Dia bukan roh jahat lokalan," Rafael buka halaman yang nunjukin ilustrasi sketsa tinta kuno: Sosok malaikat dengan sayap patah, dikelilingi anak-anak yang wajahnya menderita.
"Dia Prince of Archangels yang jatuh. Iblis tingkat tinggi. Domainnya adalah Cruelty (Kekejaman) dan Mercilessness (Tanpa Ampun). Dia benci kepolosan. Makanya dia suka merasuki anak-anak. Dia pake wadah yang paling suci buat melakukan hal yang paling keji."