Jumat, 29 Maret 2024 Bekas RSJ Pulo Gadung (Sayap Timur - Area Non-Aktif) Pukul 21:00 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Perjalanan dari gereja ke Pulo Gadung rasanya kayak parade menuju tiang gantungan. Langit Jakarta malam itu aneh, nggak ada bintang, cuma polusi oranye yang mantulin cahaya kota, bikin atmosfer kerasa sesak.
Motor mereka berhenti di jalan samping yang gelap, rimbun sama pohon angsana tua yang akarnya ngejebol trotoar. Di depan mereka, kompleks Rumah Sakit itu berdiri. Gedung utamanya modern dan masih beroperasi, lampu-lampunya nyala terang. Tapi tujuan mereka bukan di sana.
Tujuan mereka adalah Sayap Timur. Bangunan kolonial dua lantai yang terpisah dari gedung utama, dikelilingi pagar seng berkarat dan tanaman liar. Gelap total. Nggak ada satu pun lampu yang nyala.
"Ini tempatnya," bisik Pak Frans, matiin mesin motornya. Suara jangkrik langsung ngambil alih keheningan. "Gedung arsip lama. Dulu ini bangsal psikiatri kelas berat zaman Belanda."
Derry turun dari Nmax, kakinya agak kaku. Dia ngeliat Benny yang mukanya pucat pasi. Tangan kanan Benny dimasukin ke saku jaket, disembunyiin.
"Tangan lo gimana, Ben?" tanya Derry.
"Mati rasa," jawab Benny singkat. "Kayak bukan tangan gue lagi. Kayak ada yang... megangin terus."
Rafael turun dari motornya, nenteng tas kulit berisi peralatan exorcism. Auranya tenang, tapi matanya waspada nyapu sekeliling. "Jangan fokus ke rasa sakitnya. Itu cara dia masuk ke kepalamu. Fokus ke misi."
Mereka jalan mengendap-endap mendekati pagar seng. Pak Frans ngeluarin tang potong baja (bolt cutter) dari tasnya.
Krak.
Rantai gembok putus dengan mudah. Besi tua emang nggak bisa bohong.
Mereka masuk ke area halaman gedung tua itu. Rumput ilalang setinggi pinggang nyambut langkah kaki mereka. Udaranya beda di sini. Bau tanah basah, lumut, dan... sesuatu yang manis tapi busuk. Bau bunga kamboja yang layu.
"Pintu masuk basement ada di belakang," instruksi Pak Frans, nyalain senter LED-nya. Cahayanya nyorot tajem membelah kegelapan.
Mereka jalan nyisir dinding gedung yang cat putihnya udah ngelupas jadi borok-borok semen. Jendela-jendela di lantai satu rata-rata udah dipaku papan kayu, bikin gedung itu kelihatan buta.
"Guys..." Benny berbisik, suaranya gemetar. "Kalian denger nggak?"
"Denger apa?" tanya Derry, insting protektifnya nyala.
"Suara... humming. Kayak orang senandung."
Derry, Pak Frans, dan Rafael berhenti. Hening. Cuma suara angin gesek daun pisang di kejauhan.
"Nggak ada apa-apa, Ben," kata Derry. "Sugesti lo doang."
"Nggak, Der! Sumpah!" Benny neken kupingnya sendiri. "Jelas banget! Way down by the stream... suaranya kecil tapi deket!"
Rafael nyentuh pundak Benny. "Dia tau kamu di sini. Dia nyambut kamu. Abaikan."
Mereka sampai di pintu besi berat di bagian belakang gedung. Ada tulisan pudar di plat besinya: TOEGANG VERBODEN - KELDER (BASEMENT).
Gembok di sini lebih gede. Pak Frans butuh tenaga ekstra buat motongnya. Urat-urat leher dosen itu nonjol saat dia neken gagang bolt cutter.
BANG.
Gembok jatoh ke lantai semen. Suaranya ngegema keras banget di keheningan malam. Mereka semua nahan napas, takut ada satpam yang denger.
Dua menit berlalu. Aman.
Pak Frans narik pintu besi itu. Engselnya ngejerit karatan.
Bau dari dalem langsung nampar muka mereka. Bau apek. Bau kertas tua. Dan bau dingin.
"Ayo," ajak Rafael. Dia ngeluarin salib perak dari saku jasnya, megang itu di tangan kiri, senter di tangan kanan.