Jumat, 29 Maret 2024 Bekas RSJ Pulo Gadung (Basement Level 2) Pukul 22:00 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Bu Ratih: < 2 Jam Tersisa (THE FINAL HOUR)Angela: 1 Hari TersisaBenny: 2 Hari Tersisa (Tangan kanan mulai membengkak ungu)Pak Frans: 2 Hari TersisaDerry: 3 Hari Tersisa
TEAM A: DERRY & BENNY - LORONG ARSIP
Suara pintu besi yang kebanting tadi masih berdenging di kuping Derry. Dia nyorotin senter ke arah pintu itu. Terkunci.
"Kita kejebak," bisik Benny, suaranya kayak tikus kejepit. Dia megang tangan kanannya yang sekarang warnanya udah ungu tua, kayak memar mayat. "Der, tangan gue... tangan gue panas banget."
"Tahan, Ben. Fokus," Derry maksa Benny jalan. "Kita cari VHS-nya, terus kita dobrak keluar."
Mereka jalan nyusurin lorong yang dindingnya penuh jamur hitam. Pintu-pintu di sini punya kaca kecil di bagian atasnya, tapi kacanya udah dicat hitam dari dalem.
Tap. Tap. Tap.
Derry berhenti. "Lo denger?"
"Jangan nanya gue denger apa nggak!" desis Benny panik. "Gue denger semuanya, Der! Suara langkah kaki, suara anak nangis, suara garuk-garuk tembok! Gue denger semuanya!"
Derry sadar, Benny sebagai target utama sekarang jadi "antena" buat sinyal-sinyal Olivier.
Mereka sampe di pintu kayu yang kayunya udah lapuk dimakan rayap. Ada plat besi karatan: AUDIOVISUEEL ARCHIEF (ARSIP AUDIO VISUAL).
"Ini dia," kata Derry. Dia nyoba muter gagang pintu. Kunci macet. "Ben, obeng."
Benny dengan tangan gemetar ngeluarin obeng dari saku jaketnya. "Minggir."
Meskipun penakut, Benny tetep anak teknik. Dia nyodok lubang kunci, ngotak-ngatik mekanisme tuanya. Klik. Pintu terbuka dengan suara krieeet panjang yang bikin ngilu.
Mereka masuk.
Ruangannya kecil, bau debu dan asetat (bau khas film lama). Rak-rak besi berjejer penuh kaleng film bulat dan kotak-kotak kardus.
"Tahun 56," gumam Derry, nyorotin senter ke label-label rak. "1950... 1952... 1954..."
"Der..." panggil Benny dari sudut ruangan.
Derry nengok. Benny berdiri kaku di depan rak paling pojok. Di rak itu, cuma ada satu kotak kardus yang bersih. Nggak ada debunya. Seolah-olah baru ditaruh di sana lima menit yang lalu.
Labelnya tulisan tangan tinta merah: KOOR PROJECT - NATHANIEL V.D.M - 1956.
"Dapet," Derry nyamber kotak itu. Di dalemnya ada kaset VHS hitam tanpa label pabrik. Cuma ada stiker kertas: DO NOT PLAY.
"Oke, kita cabut," kata Derry, masukin VHS ke tas ranselnya.
BZZZTTT.
Bohlam lampu pijar tua di langit-langit ruangan—yang harusnya udah mati 50 tahun lalu—tiba-tiba nyala terang benderang. Terang yang menyakitkan mata.
Suhu ruangan drop ke titik beku dalam sedetik. Napas mereka berdua ngebul tebal.
Dan dari speaker tua yang nempel di dinding... suara itu keluar.
"Tonight... you... belong... to... me..."
Bukan suara rekaman. Itu suara live. Bergema di seluruh ruangan.
"LARI!" teriak Derry.
Mereka lari keluar ruangan, balik ke lorong. Tapi lorong itu berubah. Lorongnya jadi melar. Memanjang. Pintu keluar rasanya jauh banget.
Dan di belakang mereka... Benny bikin kesalahan fatal. Dia nengok.
Di ujung lorong yang gelap, berdiri sosok anak kecil. Nathaniel. Pake baju pasien rumah sakit jiwa yang kotor. Kepalanya miring patah ke kanan. Mulutnya kebuka lebar banget, lebih lebar dari anatomi manusia, ngeluarin suara statis radio yang ngerobek gendang telinga.
"BENNY, JANGAN LIAT!" Derry narik kerah jaket Benny, nyeret temennya yang kakinya udah lemas.
Mereka lari sekuat tenaga, sementara suara langkah kaki kecil di belakang mereka makin cepet. Makin banyak. TAP TAP TAP TAP TAP. Bukan satu anak. Puluhan anak.
TEAM B: FRANS & RAFAEL - KAPEL TUA
Di sayap kanan, suasananya beda. Nggak ada kejar-kejaran. Yang ada cuma tekanan berat di dada, kayak lagi nyelem di laut dalem.