Jumat, 29 Maret 2024 Kos Putri "Griya Melati", Kamar Angela (Lantai 2) Pukul 22:30 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Kamar kos Angela yang biasanya wangi lavender dan aesthetic dengan lampu tumblr, malam ini rasanya kayak ruang tunggu eksekusi mati.
Angela duduk meringkuk di sudut kasur, selimut ditarik sampai dagu. Matanya bengkak, natap pintu kamar yang dikunci rapat dan diganjal kursi belajar.
Di sebelahnya, Nancy Hudgens duduk bersila di lantai. Si Queen Bee kampus ini udah nggak peduli sama image. Rambutnya dicepol asal, dia pake kaos oblong kegedean, dan tangannya nggak berhenti muter-muter tasbih kayu yang dikasih nyokapnya dulu.
"Nans..." panggil Angela lirih. "Jam berapa?"
Nancy ngelirik HP-nya. Layarnya retak dikit karena tadi sempet jatoh saking gugupnya. "Setengah sebelas lewat, Gel. Dikit lagi."
"Derry belum ngabarin?"
"Belum. Tadi sempet telepon, suaranya putus-putus. Katanya mereka udah dapet barangnya, lagi OTW balik." Nancy nyoba senyum, tapi bibirnya gemetar. "Mereka pasti sampe. Si Benny kan utang bakso sama gue."
Tiba-tiba, ada suara mobil berhenti di depan gerbang kos. Lalu suara gerbang dibuka kasar. Langkah kaki terburu-buru naik tangga.
Angela dan Nancy saling pandang. Jantung mereka mau copot.
TOK. TOK. TOK.
Gedoran di pintu kamar Angela. Keras. Panik.
"ANGELA! BUKA! INI SAYA!"
Angela langsung kenal suara itu. Dia loncat dari kasur, nyingkirin kursi pengganjal, dan buka kunci pintu.
Bu Ratih berdiri di sana.
Kondisinya... hancur. Rambut bob-nya lepek keringat. Matanya liar, pupilnya mengecil kayak jarum. Dia masih pake baju dinas dosennya yang kusut, seolah dia nggak ganti baju seharian. Kakinya cuma pake sandal rumah yang beda warna kiri-kanan.
"Bu Ratih?!" Angela kaget setengah mati. "Ibu ngapain ke sini? Kan Derry bilang Ibu harus kunci diri di rumah!"
Bu Ratih nerobos masuk, langsung nutup pintu dan ngunci lagi dengan tangan gemetar parah.
"Saya nggak bisa sendirian, Angela..." isak Bu Ratih, badannya merosot nyandar di pintu. "Di rumah... lampunya mati semua. Saya denger mereka nyanyi di dapur. Suami saya nggak bisa dihubungi... Saya takut, Gel. Saya nggak mau mati sendirian."
Nancy langsung sigap, nuntun Bu Ratih buat duduk di sofa kecil di pojok kamar. "Bu, minum dulu. Tenang. Derry sama Pak Frans lagi jalan ke sini. Mereka bawa obatnya. Mereka bawa solusinya."
Bu Ratih nerima gelas air itu, tapi airnya tumpah semua karena tangannya gemetar hebat. Giginya gemeletuk.
"Terlambat..." bisik Bu Ratih, matanya natap kosong ke arah jendela yang tirainya tertutup. "Saya bisa ngerasain dia. Dia marah karena barangnya diambil. Dia butuh ganti."
"Maksud Ibu?" tanya Nancy.
Bu Ratih noleh pelan ke Nancy. Senyumnya pait. "Nyawa ganti nyawa."
The Blackout Pukul 23:00 WIB
Suasana di kamar itu hening mencekam. Cuma ada suara napas Bu Ratih yang berat dan ngik-ngik kayak orang asma.
Tiba-tiba... PET.
Listrik padam. Gelap gulita. AC mati. Kipas angin mati. Lampu jalan di luar juga mati. Satu kompleks kosan itu tenggelam dalam kegelapan total.
"Anjir," umpat Nancy refleks. Dia ngeraba-raba nyari HP-nya buat nyalain senter.