Sabtu, 30 Maret 2024 (Dini Hari) Gereja Santo Fransiskus Xaverius, Jakarta Pusat Pukul 00:30 WIB
COUNTDOWN STATUS:
Gereja Santo Fransiskus di tengah malam buta rasanya bukan kayak rumah Tuhan, tapi kayak benteng terakhir umat manusia sebelum kiamat. Pintu gerbang dikunci rapat dari dalam. Lampu utama dimatikan, cuma lampu altar dan lilin-lilin yang nyala remang-remang, menciptakan bayangan panjang di antara pilar-pilar raksasa.
Enam orang berkumpul di depan altar. Derry, Benny, Pak Frans, Angela, Nancy, dan Romo Rafael.
Kondisi mereka kacau. Baju mereka kotor tanah kuburan Pulo Gadung, keringat, dan cipratan darah kering Bu Ratih (terutama di baju Nancy dan Angela).
Angela duduk di bangku barisan depan, menggigil. Tatapannya kosong, traumanya dalem banget setelah ngeliat dosennya diputer kayak mainan yoyo. Derry duduk di sebelahnya, ngegenggam tangan Angela erat-erat, seolah takut cewek itu bakal ilang kalau dia lepas sedetik aja.
"Kita mulai," suara Rafael memecah keheningan. Dia udah ganti baju pake jubah liturgi ungu (warna pertobatan dan pengusiran).
Di lantai marmer depan altar, Rafael udah bikin lingkaran pelindung pake garam kasar yang udah diberkati. Di tengah lingkaran itu, barang-barang terkutuk dari Pulo Gadung ditaruh:
"Benny, Pak Frans, kalian jaga di luar lingkaran garam," perintah Rafael. "Pegang salib kalian. Jangan biarkan apa pun keluar dari lingkaran ini."
"Apa pun?" tanya Benny, suaranya serak. Tangan kanannya yang bengkak ungu didekap di dada.
"Apa pun," tegas Rafael. "Termasuk ilusi orang yang kalian sayang."
Rafael natap Derry. "Derry, kamu punya tugas khusus. Kamu pegang pemantik api ini." Rafael nyerahin Zippo perak. "Dan botol minyak urapan ini. Nanti, saat saya kasih aba-aba 'IGNIS', kamu siram barang-barang itu dan bakar. Paham?"
Derry ngangguk, matanya nyalang. Dendam atas kematian Bu Ratih bikin rasa takutnya ilang. "Paham, Romo. Bakar sampe jadi abu."
The Ritual Begins Pukul 01:00 WIB
Rafael berdiri di depan altar, ngangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
"In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti..."
Suara Rafael bergema, mantul di dinding-dinding gereja. Awalnya hening. Cuma suara angin malam di luar.
Tapi pas Rafael mulai masuk ke doa eksorsisme Latin kuno, atmosfer berubah.
"Exorcizamus te, omnis immundus spiritus, omnis satanica potestas..."
WOOSH.
Angin kencang bertiup di dalam gereja yang tertutup rapat. Lilin-lilin di altar bergoyang liar, nyaris mati, tapi nyala lagi dengan api yang lebih tinggi... dan berwarna biru.
Suhu drop drastis. Uap napas mereka ngebul tebal. Lantai marmer bergetar.
Di tengah lingkaran garam, barang-barang itu mulai bereaksi. Kaset VHS itu bergetar. Kotak plastiknya retak. Pita film hitam di dalemnya mulai keluar sendiri, menjuntai kayak cacing pita yang keluar dari perut inang. Amplop surat itu kebakar di ujungnya, tapi apinya nggak nyebar, cuma ngeluarin asep item yang bau belerang.
Dan kotak musik itu... Kotak musik itu terbuka sendiri. KLIK.
Melodi itu keluar. Bukan suara denting logam yang manis. Suaranya sember, fals, dan distorted. Melodi "Tonight You Belong to Me" yang diputer mundur.
"Nemenem... ot... gnoleb... uoy... thginot..."
Angela di bangku depan nutup kupingnya, ngejerit. "BERHENTI! SURUH BERHENTI!"
Nancy meluk Angela, ikut nangis ketakutan.
The Manifestation Pukul 01:15 WIB
Asap hitam dari amplop dan pita VHS itu menyatu di udara, berputar-putar di atas altar, membentuk siluet. Padat. Gelap. Besar.
Lalu, siluet itu menyusut, memadat, menjadi bentuk manusia.
Nathaniel van der Meer. Versi anak-anak. Pake baju pasien RSJ yang kotor penuh noda darah lama.