Aku tidak pernah segila ini dalam mencintai seseorang. Aku memasung wajahmu setiap pagi, siang, sore, dan malam. Mengikatnya di sela-sela jantungku, di sudut kelopak, atau pada tiap rintihan air mata yang mengalir. Kadang kamu tengadah menatap dalam. Kadang kamu berdiri di sampingku ketika aku menunggu kereta di stasiun. Kamu duduk bersimpuh ketika aku terbangun dari tidur, dan duduk di tepian kasur. Kamu memeluk dan memetik satu per satu dingin yang menggigil di kulitku kala hujan ambyar membasahi bumi. Tak ada waktu yang melata tanpa kamu di lekuk penantian itu. Aku meyakininya bukan dalam mimpi semata.
Malam kian hening. Aku nyaris tidak mendengar apa-apa kecuali deru napas yang terus memburu. Seperti habis dikejar-kejar oleh sesuatu. Aku seperti umatnya Nabi Musa yang diburu tentara Firauan. Hingga monster laut melahap mereka, seperti sebuah hentakan yang membangunkanku dari tidur panjang sejak lima jam lalu.
Aku mematut wajah di depan kaca. Menyalakan ponsel, dan langsung terkejut begitu menyadari betapa cerobohnya ketiduran di jam 8 malam. Aku menelepon balik kontak yang telah lebih dari lima kali mencoba menghubungi. Entah mengapa kedua kakiku mulai berjalan menuju tirai jendela, mengintip New York di tengah malam.