Jakarta, Agustus 2016
Sepotong dimsum terakhir sudah ludes sejak tiga puluh menit lalu. Kini hanya tersisa potongan lelah dan gelak tawa para ladies yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Mataku masih tertuju pada pemain musik yang mendendangkan lagu 90-an. Lagu itu pernah menjadi teman setia kala patah hati zaman SMA. Setelah sekian lama tidak mendengarnya lagi, aku merekam kembali kenangan itu.
Di sela-sela obrolan, tiba-tiba saja Andien mengajak bubar. Yang lain mengiyakan. Satu per satu mulai beranjak, tetapi bibirku malah bergetar lembut; gue masih pengen di sini. Sendirian aja.
“Lho? Kenapa?” Karmela bertanya.
“Masih betah. Lagunya nanggung,” balasku sambil menatap pemain musik.
“Beneran pengen sendiri?” Kujawab dengan anggukan.
“Yaudah. Jangan sedih-sedih ya, Beib.. kita masih bisa ketemuan lagi kok?” Kami berempat berpelukan. Setelah itu mereka mulai melangkah pergi. Aku sendiri.
Sakit juga rasanya kehilangan pekerjaan barengan sekaligus. Seolah tanpa aba-aba, aku dan teman-temanku korban nyata perubahan zaman. Kami dulunya bekerja di perusahaan penerbitan majalah remaja, tetapi nahas. Penjualan menurun drastis setahun belakangan ini. Sebab bosku masih waras, akhirnya penerbitan majalah di-stop. Beberapa perusahaan majalah cetak beralih ke media online, tapi bosku barangkali berpikir, usaha bidang lain lebih menggiurkan. Bisnis pet shop misalnya, atau bikin kos-kosan di daerah Jaksel. Jadilah kami pengangguran baru yang tidak tahu mau melakukan apa setelah ini?
Aku memilih bertahan di kafe bukan untuk meratapi status baru sebagai pengangguran. Hanya sedang malas saja untuk melangkah pulang. Aku minta segelas es teh dan menikmatinya walau tak begitu perlu. Kerongkonganku masih basah. Aku memesannya agar terlihat layak bertahan di tempat ini. Sampai tibalah pada pertemuan dengan seseorang. Dia tiba-tiba saja datang dan duduk di hadapanku. Kurapikan posisi duduk demi menatap orang itu yang tak lain adalah Pak Reno, redaktur pelaksana di kantorku. Dia tersenyum sambil meraih kursi, lalu duduk dengan gerakan yang sangat tenang.
“Ada perusahaan penerbitan. Butuh editor. Masih satu payung sama perusahaan majalah kita.” Pak Reno membuka obrolan.
“Penerbitan?”
“Iya. Semacam Gramedia, Bentang Pustaka, dan lainnya. Tentu belum setenar mereka. Namanya Anterra Publishing. Saya bisa ajah masukin kamu sebagai tim editor.” Aku berpikir sejenak. “Ng.. maksudnya, rekomendasiin kamu.”
“Editor ya Pak? Saya kan nggak punya pengalaman jadi editor?”
“Kamu kan lulusan Sastra Indonesia. Bisa lah ngotak-ngatik tulisan orang.”
“Ah apaan! Zaman dulu saya kuliah, cuma dapet dua SKS belajar penyuntingan. Mana bisa saya Pak.”
“Ya kamu kan bisa sambil belajar. Yang penting punya basic-nya. Kamu suka baca buku. It’s enough, Vhe.”
“Tapi Pak. Saya kan asalnya dari reporter. Kerjaannya nyari berita, interview orang-orang, nulis-nyatet, riset, bakal jomplang banget dong? Kalo tiba-tiba saya banting stir jadi editor. Kerjaannya bacaaaa mulu! Udah gituh, gak semua orang kan tulisannya enak dibaca, Pak. Nggak mau ah!”
Pak Reno tertawa pelan.
“Ginih ajah deh. Saya forward posternya ke email kamu. Siapa tau nanti kamu berubah pikiran. Kalau minat, kamu ikutin ajah alurnya. DM saya kalau kamu butuh rekomendasi.”
Aku mengangguk. Setelah itu, Pak Reno pamit. Aku belum sempat mendapat jawaban, kenapa di antara sekian banyak yang diberhentikan, hanya aku yang dia tawari kerja. Bahkan, Pak Reno melewatkan anak-anak editor yang jelas lebih punya pengalaman. Ugh! Untuk apa aku berpikir macam-macam?
***
Setelah sebulan menganggur, akhirnya aku memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai editor di Anterra Publishing. Kantornya di daerah Tanjung Duren. Hari ini aku interview jam 11 pagi. Aku hanya berharap tidak ada pertanyaan yang menyusahkan. Apalagi kalau harus dites EYD Bahasa Indonesia. Sungguh, aku bukan tipe lulusan Sastra Indonesia yang betul-betul serius dalam belajar kaidah kebahasaan. Aku lebih menyukai belajar puisi-puisi mantranya Soetardji Calzoum Bachri, ketimbang belajar kapan menggunakan tanda seru, tanda koma, dan apostrof.
Beberapa hari lalu, aku ikut serangkaian tes yang melelahkan. Menurutku, cukup ketat untuk ukuran perusahaan penerbitan kelas menengah. Aku tidak tahu, makhluk jenis apa yang membuat SOP begitu ribetnya. Ah, sudahlah! Tidak penting juga, toh, secara ajaib, aku lolos sampai ke tahap interview.
Semakin dekat dengan ruang interview, aku malah ingin kabur saja. Menjauh dari kehidupan yang sewaktu-waktu membelitku pada rasa bosan. Aku tahu betul, menyunting tulisan itu salah satu pekerjaan menyebalkan. Aku heran, ada saja yang bertahan pada pekerjaan ini. Saat kuliah dulu. aku sempat magang satu bulan sebagai editor surat kabar. Aku benci sekali materi-materi politik, tapi aku harus melumatnya beberapa kali untuk mengoreksi kesalahan data, kesalahan ejaan, bahkan struktur kalimat yang tidak enak dibaca. Tulisan koran itu dari beragam narasumber, dengan opini bercabang, juga kemampuan berbahasa yang rata-rata buruk. Mungkin karena aku magang di harian yang ratingnya rendah, dan pasti memberikan honor rendah untuk para kolumnisnya. Dari situ, aku berkesimpulan bahwa menjadi editor bukan pekerjaan yang menyenangkan. Kau tahu, setiap manusia pasti berbuat kesalahan. Apalagi ketika mereka menulis, maka jangan harap menjadi editor itu menyenangkan.
“Mbak Vera!” Seseorang memanggil namaku.
“Saya!”
“Silakan masuk.”
Di dalam ruangan, aku bertemu dengan dua orang berpenampilan rapi. Yang satu perempuan muda, mungkin seumuran denganku. Yang satu lagi pria dewasa, barangkali sekitar 30-an tahun ke atas.
“Vera Anastasia?”