“Yang jilbab marun itu anak editor juga kan?”
Nat menengok ke arah belakang. Mata kami tertuju pada gadis muda berpostur pendek, berwajah mungil. Sedetik kemudian, Nat beralih menatapku.
“Namanya Nunna. Editor khusus naskah horor dan religi. Dia setahun lebih muda dari lo.” Nat mengelap sisi kiri bibirnya dengan tisu. Lalu meneruskan ucapan. “Kecil-kecil gituh dia orangnya super sibuk. Abis ngantor, dia biasanya langsung cabut. Ada jadwal ngajar bahasa Indonesia buat orang asing, katanya sih orang Korea.” Nat kembali melirik Nunna. “Tiap jam setengah lima teng, dia pasti bilang, Mbak, aku duluan ya..” Nat nyengir kuda.
“Hm… karyawan tenggo.”
“Exactly!”
Di tengah obrolan, muncul seseorang yang sudah kukenal, tapi aku lupa namanya. Dia buru-buru menghampiri aku dan Nat sembari membawa makan siangnya.
“Hy Jon! Telat lu ah. Kita udah mao kelar makannya,” dumel Nat diselingi cengiran Jonny.
“Biasa. Kerjaan nanggung.”
“Pasti masih stuck sama cover Opera Dua Cinta.”
“Lo tau kan Mbak, Pamella perfeksionis banget orangnya.”
“Bagus dooong..”
“Nyiksa sih lebih tepatnya.”
“Pamella siapa?” Aku memotong.
“Liat yang lagi mesen soto mie bogor. Kemeja putih.” Aku mendapatinya. Jonny kembali nyerocos soal Pamella.
“Cantik ya?”
Mereka mengangguk berbarengan.
“Tapi kok kalian berdua kayaknya nggak suka ya sama dia?”
“Kalo gua punya alasan yang masuk akal. Secara teknis, dia ngatur pola kerja gue. Dia editor desain grafis.” Jonny kembali menyantap gado-gadonya. “Nah, kalo elu, kenapa Mbak? Nggak suka sama tuh orang?”
“Mungkin karena dia mantannya Ben,” jawab Nat enteng. Aku pikir wajar, kalau perempuan itu pernah jadian dengan Ben. Dia cantik, seksi, kulitnya cerah. Singkat kata, dia perempuan yang berkelas. Usianya juga kutaksir tak begitu jauh dari Nat. Hanya saja, aku tidak tahu kenapa Nat membencinya atas dasar kisah lamanya dengan Ben. Kusimpan pertanyaan itu untuk obrolan di hari-hari berikutnya.
Sekarang aku malah lebih tertarik dengan dua orang di hadapanku. Nat, seorang ibu muda beranak satu. Badannya tinggi, ramping, berambut panjang bergelombang. Orangnya ramah. Dia mengenal teman-teman kantornya dengan baik. Mungkin karena dia salah satu senior di kantor ini. Nat mengajariku banyak hal dengan santai. Obrolan tentang editing seolah tidak jauh beda dengan pelajaran make up bagi remaja pubertas.
Aku tidak tahu kenapa Nat dan Jonny bisa saling akrab. Mungkin karena mereka memiliki satu kesamaan; lincah dalam berbicara. Suatu bakat penting dan diandalkan ketika bergosip.
Jonny punya bahu yang lebar. Dia terlihat gemuk, tapi tidak buncit. Satu-satunya yang kuiri dari Jonny adalah kulitnya yang berwarna coklat sempurna. Seperti almond panggang.
“Elo sama Nat emang biasa berdua ya?” tanyaku ketika Nat sedang pergi membayar makan siang. Jonny menjawabnya dengan anggukan. Aku memandanginya sembari menyelipkan sebuah pertanyaan yang tidak perlu diucapkan.
“Gue kurang klop sama anak-anak desain. Nat punya problem yang sama. Ya.. selebihnya kita terhubung lewat kerjaan.”
Aku pikir, aku akan bernasib sama dengan Nat.
***
Seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Masuuuuk!”
Aku masih tengkurap sambil membaca sebuah novel. Tak peduli siapa yang menghampiri, sebab khayalanku masih berkelana, membangun imajinasi visual dari novel detektif yang sedang kubaca. Kau tahu, terkadang itu lebih berkesan dari menonton film apa pun. Sebagian pembaca novel tentu tahu bagaimana rasanya.
“Gimana hari pertama lo?” Aku diam sejenak. Lalu kuberi lekukan penanda pada novel. Aku mengalah dan berbalik menghadap laki-laki itu.
Namanya Abimana. Kalau aku tak kenal Abimana Aryasatya, kupikir kakakku adalah Abimana tertampan di dunia ini. Dia sebentar lagi akan menikah dengan seorang dokter gigi. Karena itulah, dia jadi sering ke kamarku untuk sekadar curhat atau minta dibungkuskan kado untuk pacarnya. Aku selalu menerima Abi dalam kondisi mood bagaimana pun. Dia pendengar yang baik. Punya kakak seperti Abi, membuatku tidak perlu khawatir menjomblo selama dua tahun belakangan ini. Tapi karena dia akan segera menikah, ini menjadi persoalan serius.
“Gue rada lega.” Aku mulai membetulkan posisi duduk. Tegak bersila menghadap Abimana. “Lo tau? Tadinya gue pikir gue bakal tersiksa sama aturan-aturan bahasa. Apalagi kalo harus berburu kata typo. Tapi ternyata ada bagian lain yang ngurus masalah itu. Namanya proofreader lepas.”
“Terus?”
Aku berpikir bagian mana yang perlu diceritakan ke Abi.
“Satu hal yang bikin nggak seru sih.. rekan-rekan gue keliatan gak kompak.” Abi hanya manut-manut. “Ngga tau, aneh ajah ngeliat mereka makan masing-masing. Ketara banget nggak nyatunya.” Lagi-lagi Abi hanya merespon seadanya.
“Eh, gue punya atasan yang supeeerrr ganteng.” Parasku mendadak sumringah. “Orangnya kalem, frigid, kadang-kadang nyebelin, tapi gimana ya? Dia… kharismatik. Enak ajah gituh buat diliat, walaupun jarang senyum.” Aku menceritakannya sembari tersenyum. Abi hanya menatapku sepintas lalu tatapannya kembali mengabur.
“Heh jelek! Lo ke sini bukan mao ngedengerin gue cerita kan?” Kali ini Abi tersenyum lebih lebar. “Ngaku lo!” Aku menggebuk lengannya dengan novel.
“Gua dengerin kok. Sumpah!”
“Apaan dari tadi kayak orang bego. Gak nyambung!” Aku mulai cemberut. Lama kami terdiam. Aku menunggu Abi bicara.
“Gua kayaknya ga nikah tahun ini, Vhe.” Aku terbelalak. Kupandangi paras Abi yang mendadak serius. Aku yakin seratus persen, dia tidak sedang membuat lelucon. Abi tak setolol itu.
“Kenapa?” Abi menjawab dengan menaikkan pundaknya. “Ah Abi.. Elo becanda! Orang-orang pada pengen cepet-cepet, elo malah nunda-nunda. Gimana sih?”
“Orang-orang yang manah?” Kugigit bibir bawah sebentar. Abi pasti punya maksud tertentu sampai harus menunda pernikahannya.
“Gue salah ya? Nyuruh lo cepet-cepet nikah?”
“Nggak.. nggak juga. Lo ada benernya.”
“Cuma…?”