Terkadang Alwan heran dengan teman-teman sekelasnya yang selalu heboh ketika sekolahnya kedatangan siswa batu, entah dia memang datang ke kelasnya, atau kelas lain. Alwan tidak pernah mengerti mengapa mereka selalu saja heboh ketika hal itu terjadi, karena faktanya, mau siswa baru itu cantik ataupun tidak cantik atau ganteng ataupun tidak ganteng, pasti mereka selalu membicarakannya. Kalau ganteng atau cantik, mereka akan membicarakan kegantengan atau kecantikan orang itu. Dan kalau tidak ganteng atau tidak cantik, mereka akan membicarakan ... Sepertinya kita tidak perlu membahas yang satu ini.
Sebenarnya Alwan juga penasaran dengan siswa baru itu, karena sejauh yang dia dengar, katanya dia itu cewek, dan katanya lagi, dia cantik. Tapi bukan itu yang membuat Alwan penasaran, melainkan, katanya lagi, dia pintar. Alwan senang kalau siswa baru itu benar-benar pintar, karena dengan begitu dia bisa mengajaknya untuk menjadi partner belajarnya. Tunggu, jangan berpikir yang aneh-aneh, niat Alwan mengajak dia untuk menjadi partner belajarnya adalah murni karena katanya dia pintar, bukan karena katanya dia cantik.
Suara grasak-grusuk mengisi telinga Alwan, seketika itu juga dia mendongak dari buku yang sejak tadi dibacanya dan melihat sekeliling, dan benar saja, Bu Effia–guru Matematika yang katanya killer, masuk ke kelasnya. Pantas teman-temannya langsung pada kelabakan menuju tempat duduk masing-masing. Bu Effia terlihat seperti mencari sesuatu, matanya terlihat sangat tajam kalau sudah seperti itu. Matanya berhenti berkeliling ketika sudah mendapat mangsa—maksudnya, objek yang sedang dia cari. Dan, oh, ternyata Alwan yang menjadi mangsa—maksudnya objek yang sedang dia cari.
Teman-teman Alwan melihatnya dengan iba, seperti meneriakkan bahwa dirinya harus siap mental dan fisik. Alwan bingung kenapa mereka menatapnya seperti itu, karena kenyataannya, Alwan sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam Bu Effia, toh, Bu Effia juga tidak galak pada Alwan, karena bisa dibilang, Alwan merupakan salah satu murid kesayanangannya, itu kata beliau.
"Alwan," panggil Bu Effia yang membuat seisi kelas menjadi hening. Bu Effia berjalan ke arah meja Alwan, membuat Abby—teman sebangku Alwan bergidik ngeri. Alwan jadi bingung, sebenarnya siapa yang Bu Effia hampiri? Alwan atau Abby? Kalau memang Alwan, lalu kenapa Abby yang ketakutan?
"Siang nanti kamu bisa bantu saya?" Tanya Bu Effia.
Tidak ada yang bisa Alwan lakukan selain mengangguk dan bertanya, "bantu apa, bu?" Jelas saja Alwan mengangguk, karena dia tidak bisa menolak, karena kalau Alwan menolak, bisa-bisa Bu Effia murka dan mencoret nama Alwan dari daftar murid kesayangannya.
"Tolong bantu saya untuk mengajak anak baru yang berada di kelas dua belas IPA B untuk berkeliling sekolah pada jam istirahat kedua," ucap Bu Effia dengan tenang. Di sela-sela pembicaraan Bu Effia, dapat Alwan pastikan teman-temannya menahan napas mereka, dan di saat Bu Effia sudah selesai berbicara, terdengar suara decakan yang sangat jelas di telinga Alwan. Mungkin mereka kesal karena Alwan terkesan mendahului.
Sekali lagi, Alwan mengangguk, menandakan bahwa dia bersedia untuk membantu Bu Effia, atau lebih tepatnya, membantu anak baru yang berada di kelas dua belas IPA B itu untuk berkeliling sekolah pada jam istirahat kedua nanti.
Kelas kembali ribut ketika Bu Effia keluar kelas setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih pada Alwan. Kali ini intensitas keributan mereka lebih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keributan yang terjadi sebelum Bu Effia datang.
"Anjir, beruntung banget lo bisa jalan-jalan sama anak baru yang cantiknya Subahanallah itu," ucap Abby frustasi sambil menjambak-jambak rambutnya.
"Bukan jalan-jalan, Ab," balas Alwan santai.
Abby menoleh ke arah Alwan dan menatap sahabatnya itu dengan aneh, "kenapa sih, lo masih suka manggil gue dengan sebutan 'Ab'?" Tanyanya, sungguh tidak terduga, karena Alwan pikir cowok itu akan mengesampingkan hal seperti ini demi membicarakan si anak baru.
"Karena akan sangat menjijikan kalau gue memanggil lo dengan sebutan 'By'" balas Alwan sambil bergidik.
"Iya juga, sih," Abby ikut bergidik, sedetik kemudian, dia kembali menjambak-jambak rambutnya. "Ah! Pokoknya gue nggak rela lo jalan-jalan sama anak baru itu!"
"Alwan! Lo harus nyerahin tugas lo ke gue!" Teriak Ronald, teman sekelas Alwan yang tempat duduknya berada di serong kiri depan meja Alwan.
Satu teriakan dari Ronald cukup mengundang teriakan-teriakan lainnya yang berasal dari teman-teman cowok sekelas Alwan. Mereka tidak henti-hentinya meneriaki Alwan untuk menyerahkan tugas itu kepada mereka. Sedangkan Alwan hanya bisa menenggelamkan wajah ke atas buku yang sejak tadi terbuka di atas meja dengan indahnya.