"Turunkan senjatanya atau kalian akan melihatnya mati!" Teriakkan seorang pria dengan masker hitamnya itu terdengar lantang. Suasana mencekam terasa begitu saja di area perbelanjaan mewah itu. Tak ada yang berani bersuara. Semua orang terdiam bahkan tak ada yang berani berkedip.
Sementara itu seorang wanita cantik dengan dress hitamnya menatap malas ke arah pria itu. Sebagai seseorang yang sedang disandera dan nyawanya dipertaruhkan. Ekspresinya terlalu tenang.
Marsya Carl Elhart. Siapa yang tak mengenalnya? Memiliki tubuh ramping, paras cantik dan mata yang menawan. Wanita yang berprofesi sebagai model itu kini tengah menghadapi waktu yang sulit. Tapi tak seperti kebanyakan orang, Marsya tidak takut mati. Dia seolah tak mengindahkan pisau pelaku yang sedang bersentuhan dengan leher jenjang cantiknya. Tatapannya datar, seolah ini bukanlah kejadian yang pantas mendapatkan perhatiannya.
Di depannya, para penjaga dengan seragam dan senjata melingkarinya, mereka menodongkan pistol. Marsya sepertinya tahu siapa yang memanggil pihak keamanan sebanyak ini, yang jelas para penjaganya juga tak kalah banyak berjaga di depan. Lagi, dia sepertinya harus meminta maaf karena telah menimbulkan keributan di area publik.
Tikus-tikus ini seakan memang tak ingin membiarkannya hidup tenang.
"Mundur!" Pria dengan masker hitam yang menyandera Marsya kembali berteriak. Marsya yang saat ini terseret oleh sang pelaku lama-lama merasa gerah dan kesal.
"Siapa yang mengirimkanmu kali ini?" tanya Marsya tanpa takut.
"Kau tidak perlu tau," jawab pria itu sama mengancamnya.
Marsya berdecak kesal. "Yaa, lagi pula sebentar lagi aku akan tahu."
Dengan gerakan tangan yang lihai, Marsya menarik pisau kecil yang tengah bertengger di lehernya. Marsya dengan kuat menggenggamnya. Membuat sang pelaku sendiri terkejut dengan tindakannya yang bisa dibilang sangat berani.
"Jika kau berniat membunuh seseorang. Maka jangan pernah ragu," kata Marsya memberikan nasihat tepat sebelum dia mendorong pria itu menjauh dengan kakinya. Nasihat dari orang gila yang kini mengisi separuh isi hatinya.
Tidak lama, suara tembakan terdengar bising. Marsya bahkan tak melihat ke belakang lagi karena yakin kalau pria itu sudah mati terkoyak oleh lebih dari sepuluh peluru yang berasal dari para pria bersenjata di depannya.