Fayo! Kamu bolos les Fisika lagi, ya? Ke mana aja kamu sepulang sekolah? Nggak belajar, malah main-main nggak jelas.” Mama menodongku dengan pertanyaan-pertanyaan itu tepat saat aku memasuki pintu rumah.
Andai aku punya pintu ke mana saja milik Doraemon, aku pasti tidak harus menghadapi ocehan Mama setiap hari. Tidak, aku tidak butuh setiap hari. Hari ini saja, tak bisakah Doraemon meminjamkannya kepadaku?
“Maaf, Ma,” hanya itu yang kukatakan kepada Mama. Lalu, dia akan memulai ocehan yang lebih panjang berkali-kali lipat daripada kalimat sebelumnya.
“Kok, cuma minta maaf? Kamu ke mana ini tadi? Apa sedang ada proyek sosial? Fayo, kamu tahu, kan, kalau nilai kamu harus bagus banget buat bisa masuk Yale University seperti Fano. Kamu nggak bisa main-main dengan waktumu. Kamu harus memanfaatkannya dengan baik, untuk menghasilkan nilai akademik yang fantastis, mencari pengalaman internasional, melakukan proyek-proyek sosial, dan mengambil kesempatan menjadi pemimpin. Tapi, tadi Mama sudah cek ke teman-teman kamu di sanggar anak jalanan, katanya kamu juga nggak ada di sana. Mama khawatir kamu nggak bisa meraih apa yang kakakmu raih. Katanya, mimpi kamu pengin kayak Fano?”
Seperti hari-hari sebelumnya, Mama akan memberondongku dengan pertanyaan yang membuatku sesak. Dan, aku akan berjalan setengah berlari ke kamarku sebelum Mama menyadari bahwa aku gemetaran, napasku memburu, dadaku sesak, dan kakiku menginginkan aku lenyap dari hadapan Mama saat itu juga.
“Fayo, jawab Mama. Oiya, hari ini pengumuman program AFS1, kan? Gimana? Kamu pasti lolos, kan, Fayo?”