“Angkat kepalamu, Fayo! Masih ada kesempatan lain. Mama akan mencarikan proyek-proyek internasional yang kamu bisa ikut, seperti kakakmu dulu. Jadi, sekarang kamu masuk sekolah dan belajar yang rajin. Jangan biarkan mereka memandang rendah kamu hanya karena tidak lolos program AFS. Oke?” Itulah yang dikatakan Mama saat mengantarku ke sekolah pagi ini.
“Iya, Ma,” jawabku singkat, lalu keluar dari mobil.
Tidak ada yang akan memandang rendah padaku hanya karena aku tidak lolos program AFS. Kurasa, hanya aku sendiri yang membuat segalanya tampak seolah seperti tragedi.
Apakah Mama juga akan melakukan hal yang sama jika aku tahu apa yang ingin kulakukan dalam hidupku? Tapi, itu berarti aku harus tahu terlebih dahulu apa yang ingin kulakukan dalam hidupku.
What is your purpose for life, Fay?
Kupikir aku ini orang yang sangat angin-anginan. Yah, aku berubah setiap detik. Ketika baru selesai menonton film sci-fi semacam Interstellar atau The Martian, aku akan berpikir apakah aku hidup untuk menemukan sesuatu yang akan kutinggalkan agar kehidupan manusia menjadi lebih baik?
Beda lagi saat aku selesai menonton film 99 Cahaya di Langit Eropa, atau film-film bergenre religi lainnya. Aku akan sadar bahwa diriku ini sangat kecil, dan Allah itu Mahabesar. Maka, aku akan rajin sekali beribadah.
Akan tetapi, ide tentang jawaban dari pertanyaan: kenapa aku diciptakan ke dunia ini, masih juga belum kudapatkan. Bersama dengan segala “why” yang belum terjawab itu, kemudian selalu muncul perdebatan di dalam diriku sendiri. How if you change the question? Apa yang ingin kamu lakukan di dunia ini, Fay?
Yeah, I admit it. Aku juga belum tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
Seperti biasa, teman-teman satu gengku menyapaku saat aku tiba di kelas X IPA 2. Mereka adalah Reva, Didda, dan Yuriz.
“Fay, lo mau kuliah kedokteran, ya, setelah lulus SMA?”
“Hah?” Aku kaget setengah mati. Kenapa Reva tiba-tiba menanyakan hal semacam itu?
Sadar dia butuh menjelaskan kenapa, Reva membuka bibirnya mau angkat bicara lagi. “Kami lagi bahas setelah lulus SMA mau kuliah di mana. Kami bertiga ternyata sama, penginnya di ITB. Gue pengin di SBM2.”
“Gue Arsitektur.” Mata Didda berbinar-binar saat mengatakan pilihannya.
“Gue Penerbangan. Lo kayaknya pengin Kedokteran, ya?” Yuriz kini yang ganti bertanya.
Hanya satu kalimat yang terpikirkan olehku detik ini. “Tahu dari mana?”
Yuriz tersenyum lebar. “Nebak aja. Biasanya murid paling pintar satu sekolah masuk ke Kedokteran,” ujarnya sambil tertawa.
Aku mengeluarkan suara tawa yang semoga tidak tampak dibuat-buat. “Oh, gitu, ya.”
See? They have a visionary vision of their future. Mereka jatuh cinta dengan pilihan-pilihan yang akan mereka ambil di masa depan. Jatuh cinta dengan rencana-rencana manis yang menantinya di ujung jalan. Apa yang benar-benar kamu inginkan, Fay? Kedokteran? Kamu sendiri tahu bahwa itu bukan benar-benar sebuah pilihan yang membuatmu jatuh cinta lagi dan lagi.
Memang benar bahwa satu semester kemarin aku adalah juara kelas, sekaligus menempati ranking pertama di sekolah. Semester 2 ini, aku tidak tahu apakah aku masih bisa menduduki posisi itu atau tidak. Adalah kiamat, kalau sampai aku tidak menjadi yang pertama di jajaran ranking akademis itu. Setidaknya kiamat di kehidupanku sendiri kalau dilihat dari kacamata Mama.
Beruntung, tidak ada seorang pun di antara tiga temanku yang tahu track record kakakku. Dan, mereka tidak pernah membanding-bandingkan aku dengan kakakku yang supersempurna itu sehingga aku selalu merasa damai saat menghabiskan waktu di sekolah. Rasanya seperti aku menjelma menjadi sosok Fayo yang ramah, suka tersenyum, dan ceria. Aku suka sekali berada di sekolah, apalagi di rooftop-nya. Aku paling suka pemandangan yang tampak ketika aku nongkrong di sana, dengan fakta bahwa tidak ada seorang pun yang menggangguku.
***
Seperti biasa, weekend adalah saatnya mengerjakan PR, pergi ke sekretariat OSIS, atau sekretariat KIR, dan melakukan aktivitas sosial di sanggar anak jalanan, bersama beberapa teman yang benar-benar punya jiwa sosial tinggi. Maksudku, aku sedang berusaha mengatakan bahwa aku tidak punya jiwa sosial tinggi. Sebab, aku tahu adanya aku di sanggar itu hanya karena aku harus memenuhi standar Yale’s candidate. Yah, aku tidak akan munafik dengan berpura-pura menjadi anak dengan hati bersih yang selalu ingin membantu orang lain meskipun aku memang munafik soal berpura-pura mimpiku adalah sekolah kedokteran.
Ingat, ketika aku berkata tubuhku menjadi gemetaran dan napasku sesak ketika Mama melakukan ceramahnya sekaligus membanding-bandingkan aku dengan Fano? Kurasa, aku mengidap penyakit mental yang disebut anxiety disorder. Aku mencari di internet, apakah aku normal atau tidak, dengan kecemasan tingkat tinggi yang selalu datang setiap kali Mama membandingkan aku dengan Fano.