Teman-teman sekelasku ternyata jauh lebih excited daripada aku atas kehadiran anak baru di kelas ini. Baru saja Pak Dewo keluar setelah kelas Kimia selesai, mereka sudah berkerumun mengajak Ave berkenalan. Dan, Ave tiba-tiba menjelma menjadi cowok yang sangat ramah, menyapa semua temanku yang mengajaknya berkenalan, menjawab semua pertanyaan bagaimana di Jogja, dan sebangsanya. Tapi, tidak seorang pun dari mereka yang menanyakan apa yang ingin aku ketahui darinya.
Aneh rasanya kalau aku tiba-tiba menyapanya dan bertanya apa mimpinya? Apa yang ingin dia lakukan dalam hidupnya? Apa yang ingin dia kejar? Tentu saja itu akan menjadi awkward moment paling fenomenal di dunia.
Sampai hari ini, hari kedua kehadiran anak baru di kelas, teman-teman sekelasku masih terlihat excited. “Gue udah kenalan sama si anak baru!” ujar Reva setengah berbisik, seperti biasa berbalik ke bangkuku dan Didda yang ada di belakangnya.
Gimana? Gimana? Excitement itu hanya terjadi di pikiranku. Aku dan Didda hanya menatap Reva tanpa bertanya apa pun.
“Gue ketemu dia di depan parkiran sanggar yoga langganan Mama kemarin. Gue pas nganterin Mama, eh dia ternyata lagi nganterin adiknya. Adiknya masih SD, tapi cantik banget. Dia juga cakep sih, ya,” ujar Reva rumpik.
Oh, jadi dia punya adik cewek.
“Terus, gue sapa dia, dan kami kenalan. Tahu, nggak, mobil dia apa? Dia kece banget kemarin bawa-bawa BMW Z4. Dia lebih cakep kalau pakai baju casual juga, tahu, nggak.”
Dia cakep, itu memang benar. Tentu saja cewek-cewek pada klepek-klepek.
“Gue juga bisa bawa BMW bokap gue,” Yuriz nimbrung. Sebagai satu-satunya cowok di antara kami berempat, dia selalu ingin terlihat lebih keren dari semua cowok yang lagi “in” buat dibahas sama Reva yang selalu update gosip-gosip sekolah.
“Beda kelas, lah, kalau lo yang bawa!” ujar Reva menggerutu, lalu berdebat dengan Yuriz yang duduk di sampingnya tentang skala kelas kekerenan seorang cowok.
Kelas berjalan seperti biasa. Begitu pula saat jam istirahat siang, aku dan ketiga temanku hanya membeli batagor di kantin, lalu kembali ke kelas. Tapi, di lorong sebelum sampai ke kelas, tiba-tiba Mama meneleponku. Aku menyuruh teman-teman kembali ke kelas terlebih dahulu. Sementara itu, aku berjalan ke arah rooftop, lalu mengangkat telepon Mama setibanya aku di sana.
“Fayo, jam 2.00 siang sampai jam 4.00 sore nanti Fano transit di Jakarta sebelum ke Papua buat ambil data sampel gitu, katanya. Mama mau nyamperin dia ke bandara. Kamu mau ikut, nggak? Kalau iya, biar Mama jemput sekarang. Kelas tambahan kamu ini nanti Matematika, kan? Kayaknya kamu udah paham semua, jadi nggak masalah kalau izin nggak ikut kelas. Gimana?”
Fano? Kurasa hanya Mama satu-satunya yang super-excited terhadap kedatangannya. Transit cuma dua jam di Cengkareng?
“Fayo? Gimana? Kamu juga pengin ikut ketemu Fano, kan?”
“Tapi, minggu depan ada ulangan Matematika, Ma. Kayaknya aku butuh ikut kelas tambahan ini nanti, deh.”
“Gitu? Yakin nggak mau ikut? Padahal, Mama sekalian mau bahas soal kamu. Kan, kamu nggak lolos program AFS, siapa tahu di kampus Fano ada acara buat anak SMA, biar dia bisa cariin infonya, terus di-share ke kamu.”
“Nanti materi kelas tambahannya penting banget, Ma. Mau dikasih kisi-kisi apa aja yang bakal keluar saat ulangannya. Salam aja, deh, Ma, buat Mas Fano.”
“Ya udah. Oke, nanti Mama sampaiin. Kamu belajar yang rajin, ya, Fayo. Mama denger di kelas kamu ada anak baru yang juara sekolah di sekolah lamanya, ya? Kamu jangan sampai dikalahin sama dia, ya. Kamu tahu, kan, kenapa? Impian kamu bisa kandas di tengah jalan kalau sampai itu terjadi.”