Selama di perjalanan Ayas terus saja diancam jika kabur maka teman-teman di sekolahnya akan celaka.
Rupanya dua mobil tadi tidak benar-benar pergi, salah satunya yang berisi para Yakuza masih diam di luar gerbang sekolah, berjaga kalau-kalau targetnya melarikan diri maka mereka akan mengobrak-abrik sekolah itu. Mengetahui kelicikan mereka, Ayas hanya bisa pasrah kaki dan tangannya diikat bahkan matanya pun ditutupi kain.
Bukan tanpa alasan mereka melakukan itu, mereka juga cukup waspada karena Ayas menguasai berbagai macam bela diri termasuk Systema yang mematikan, jadi kalau untuk sekadar kabur saja itu hal mudah bagi dia. Maka harus ada yang dipertaruhkan agar si tuan muda tunduk, yaitu teman-temannya.
*****
Sesampainya di sebuah bangunan kosong yang jauh dari pemukiman warga, salah satu pria membuka ikatan kaki Ayas dan membawanya masuk ke sebuah ruangan yang hanya memiliki pencahayaan dari sebuah lampu muram, di bawahnya ada dua buah kursi saling berhadapan, si tuan muda diikat kembali di salah satunya.
Kemudian penutup matanya dibuka. Hal pertama yang ia rasakan adalah kunang-kunang, pemuda itu mencoba menajamkan penglihatannya dan mulai menelusuri sekitar ruangan.
Ada sebuah ring yang ditutupi kawat seperti kandang di pojok kirinya, sisanya hanya sebuah bangunan luas dengan berbagai barang-barang kontruksi serta kayu-kayu bekas, di beberapa pojok terlihat orang-orang berpakaian hitam dan beberapa Yakuza, ia yakin bahwa di luar ruangan ini masih banyak para penjaga.
Tak berapa lama, si pria yang memegang toa tadi menghampiri, ia berdiri memotret si tuan muda kemudian menatapnya.
"Kau sudah tertangkap karena seseorang dan kami harus membayar janji kepada orang itu, untuk sebuah pertarungan."
Tiba-tiba pintu terbuka, dan seseorang yang hampir ia percayai lagi muncul dari sana.
"A-alvin?!"
Pemuda seumurannya itu menghampiri Ayas yang masih tidak percaya.
"Sudah kukatakan, yang kuinginkan hanyalah pertarungan, dan mengalahkanmu. Tapi kau tenang saja jika kau menang, maka aku akan melakukan sesuatu untukmu dan mengatakan alasan aku melakukan semua ini."
"Dasar penghianat!" Ayas menggeram sembari memberontak.
"Tenanglah, ada waktunya kita akan berada di atas ring."
"Aku benar-benar mempercayaimu bahkan setelah kau menghianatiku, aku masih mencoba mempercayaimu. Tapi kau, justru memperdayaiku lagi, dasar topeng iblis! Pengecut!"
"Tunggu!, kau mengataiku topeng iblis? Sepertinya itu tidak cocok untukku, karena kau akan lebih terkejut ketika mengetahui siapa dalang di balik semua ini." Ayas mematung, "Maksudmu?"
"Kau tunggu saja, dia akan datang padamu sebentar lagi." Alvin kemudian pergi menuju ring dan bersiap-siap.
Tiga menit telah berlalu, salah satu dari penjaga itu membisikan sesuatu pada si pria, kemudian ia bergegas membuka pintu dan rupanya bos mereka telah sampai.
Ayas berusaha menajamkan penglihatannya ingin tahu siapa dia. Perlahan pria berjas rapi yang disebut bos itu berjalan menghampiri si tuan muda, semakin dekat cahaya lampu menyorotinya dan saat itulah ia menyadari arti dari perkataan Alvin sebelumnya.
Ia sangat syok mengetahui siapa dalang dari pengejarannya selama ini, ia bukan musuh ayahnya melainkan justru sahabat baik ayahnya yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri.
"O-om Sam?"
Pria itu duduk di kursi yang tersedia, menghadap Ayas
"Aku tahu kau pasti sangat terkejut, tapi ini memang kenyataannya."
"Mengapa om melakukan ini? Bukankah om sahabat terbaik ayah, bahkan sejak masih sekolah?"
Pria itu tertawa sembari terus mengatakan kata 'sahabat'.
"Kau pikir arti sahabat itu apa? Bukannya Alvin sudah mengatakan padamu, kalau di dunia ini tidak ada yang namanya ketulusan, yang ada hanya hubungan formalitas saja!"
"Apa alasan om sebenarnya?"
"Alasan? Semua ini karena ayahmu Yas!" pria itu menunjuk si pemuda.
"Dia yang membuatku selalu berada di dalam bayang-bayangnya, bahkan dalam bisnis pun aku ini seolah tempat sampah yang hanya menerima bisnis yang tidak disukai oleh ayahmu. Dan yang paling aku benci, dia selalu membandingkan dirinya yang sempurna denganku yang hanya injakannya. Kau bilang sahabat? Dia itu egois mendekatiku hanya untuk merasa dirinya lebih baik. Aku tidak menyangka sifat buruknya itu akan menurun pada anak tunggalnya!"
Mendengar itu mata Ayas menatap Alvin sejenank, ia mulai sadar atas apa yang dikatakan oleh pria di depannya.
Ayas tersenyum mengejek "Kalau om dendam dengan ayahku dan ingin mengambil alih atau menghancurkan bisnisnya dengan cara menyandraku, itu percuma. Ayahku lebih peduli dengan bisnisnya, dari pada anaknya!"