B.F Skinner pernah menulis buku berjudul Walden Two tentang bagaimana jika manusia hidup menggunakan topeng yang diciptakan dan diatur oleh seseorang guna menciptakan masyarakat yang Utopia. Terlepas dari topeng komunitas Walden Two, sesungguhnya setiap manusia memiliki topeng yang tercipta secara alami. Ada dua jenis topeng yang dimiliki manusia, satu yang tercipta oleh dirinya sendiri, topeng jenis ini biasanya tercipta karena adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai seseorang seperti menciptakan image yang baik padahal sebenarnya ia memiliki sifat yang buruk, atau tujuan lainnya namun orang tersebut tidak pernah sadar kalau dirinya menggunakan topeng. Topeng yang kedua tercipta oleh orang lain secara tidak sengaja, hal tersebut karena persepsi yang diciptakan oleh orang lain terhadap seseorang dengan melihat penampilan atau terjadinya kesalahfahaman terhadap apa yang dilakukan oleh orang tersebut, padahal kenyataannya orang tersebut tidak sesuai dengan apa yang dipersepikan oleh orang-orang, dan orang tersebut juga tidak pernah sadar kalau dirinya memiliki topeng. Saat ini di balik wajah-wajah manusia tersimpan kejujuran atau ketulusan serta kepalsuan seluruhnya tersimpan rapi dalam sebuah wadah berbentuk topeng.
"Semuanya sudah siap tuan, tuan Alvin juga sudah menunggu di bawah" seorang pria berusia 23 tahunan berdiri menatap remaja yang memakai seragam coklat berpin Borjura High school di sela jas almamaternya, pemuda itu bangkit seraya meletakan sebuah buku hitam ke dalam laci.
Namanya Ayaskara Dwi Wijaksa, putra tunggal konglomerat terkaya no. 2 di Asia tenggara, posturnya tinggi 180cm, berambut hitam dengan gaya menantang langit tetapi masih rapi, cerdas dan berpengetahuan luas, tapi sayang sikapnya sedingin es.
"Apa kau menulis lagi di buku diari?" Alvin menatap sahabatnya yang baru keluar dari istana megah yang disebut rumah, "Itu bukan diari Vin, tetapi sebuah jurnal" si tuan muda segera memasuki mobil sport miliknya "Kau aneh, zaman sekarang masih menyukai buku padahal teknologi sudah berkembang, di sekolah saja kita jarang menggunakan buku" Alvin segera mengenakan kacamata hitamnya, "Sudahlah kau ini terlalu mempermasalahkan hal kecil" Ayas kemudian menyiapkan mesin mobilnya "Sekolah akan dimulai dalam 10 menit lagi, artinya kita hanya punya waktu 5 menit karena 5 menit lagi akan digunakan untuk pemeriksaan fisik" lanjutnya melihat jam tangan bermerek seraya menatap orang di samping mobilnya "Baiklah tunggu apalagi" perkataan Alvin tersebut mengakhiri perbincangan mereka karena setelahnya dua mobil sport hitam dan putih melaju sangat kencang di jalan beraspal yang cukup sepi.
*****
Bel dengan nada fur elise menggema di antara gedung mewah yang memiliki pelataran sangat luas. Dua mobil sport yang tadi melaju dengan kecepatan tinggi kini sudah terparkir rapi, sedangkan Ayas dan Alvin tengah mengantre untuk pemeriksaan fisik berupa suhu tubuh, tekanan darah, dan pemberian vitamin yang rutin harus dikonsumsi setiap pagi oleh para siswa Borjura High School.
Setelah selesai mereka kemudian memasuki kelas yang sama mewahnya dengan gedung tersebut. Kursi-kursi empuk yang lebih mirip sofa kecil berjejer, di depannya terdapat meja kecil yang masing-masing dilengkapi komputer layar sentuh yang tertanam di meja, di bagian paling depan terdapat layar besar yang mirip seperti papan tulis tetapi digital, di sudut atas kiri dan kanan layar itu terdapat speaker yang cukup besar, cahaya lampu menerangi ruang tersebut menambah kesan hangat, tetapi entah mengapa setiap Ayas menginjakan kakinya ke kelas itu justru rasa dingin yang menjalari benaknya.
Siswa kelas Ayas hanya berjumlah 10 orang 5 perempuan dan 5 laki-laki, tapi Setelah setahun bersama mereka pemuda itu tetap merasa asing bahkan ia tidak dapat mengingat namanya, yang ia tahu hanya Alvin dan Resti. Wajar saja sih Borjura High School bukan sekolah biasa di dalamnya terkumpul anak-anak konglomerat yang dituntut ayah ibunya untuk bisa seperti mereka. Sehingga mau tidak mau anak-anak itu harus merelakan masa mudanya dengan bergelut pada pelajaran-pelajaran bisnis baik teori maupun praktiknya hingga tidak ada waktu untuk bermain-main layaknya anak seusia mereka.
Ayas kemudian duduk di kursinya memerhatikan Resti yang sedang berbincang menunjukan kurva pendapatan bisnis kafenya yang terus naik. Tidak lama Alvin menengok dari bangku yang berada tepat di depan si tuan muda "Resti mengajak kita untuk mengunjungi bisnis barunya nanti malam" yang diajak bicara hanya mengerutkan kening "Bisnis baru?" Alvin tersenyum, dia bisa melihat seribu pertanyaan di mata sahabatnya, tentang bagaimana dia bisa tahu bisnis baru si gadis padahal Ayas sendiri tidak pernah mendengarnya, dan bagaimana mungkin Resti mengajak Alvin bukan dirinya padahal Ayaslah pacar si gadis dan karena tidak ingin ada kesalahfahaman pemuda berambut cepak itu segera meluruskan permasalahan pada sahabatnya, "Jangan cemburu, aku tahu karena aku yang memberinya ide bisnis itu dan mungkin dia belum bisa menceritakannya padamu karena belum ada waktu, juga mengapa dia mengajakmu lewat aku karena kau terlalu kaku Yas, jadi dia takut kalau-kalau kau menolak, haha" Alvin tertawa sebelum ia menatap mata Ayas yang melotot, ia pun menghentikan tawanya dan kembali menghadap ke depan.
*****
Bulan setengah menghiasi malam berkabut tanpa bintang, Ayas memarkirkan mobilnya di dekat pintu masuk gedung karoke sedangkan Alvin dan Resti sudah lebih dulu sampai. Tadinya si pemuda akan terlambat karena ada urusan di pabrik garmennya tetapi rupanya urusan itu bisa ditangani oleh Ginding Bayu Kinata asisten yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.
Perlahan Ayas memasuki lobi, belum sampai, ia mendengar seseorang yang menyebut-nyebut namanya di sebuah ruangan. Ia pun berhenti dan mengintip, rupanya suara itu berasal dari Alvin yang sedang merangkul Resti, Ayas yang marah hanya menghela nafas dengan datar kemudian menutup kembali pintunya, ia pun segera keluar gedung dan menelepon sahabatnya itu untuk mengatakan kalau dia tidak bisa datang, setelahnya ia pun memasuki mobil dan menancap gas pergi dari tempat itu.
*****
Di bandara udara Internasional Soekarno-Hatta, segerombolan orang berwajah sipit dan sangar di jemput oleh beberapa mobil hitam, mereka pun masuk. Di salah satu mobil, seorang pria berusia akhir dua puluhan berkacamata hitam dan berjas rapi, memberikan sebuah amplop cukup besar pada pria berambut hitam dengan wajah yang memiliki bekas sayatan di pipinya.