Torrie terbangun karena mendengar suara gedoran dari pintu kamarnya. Perlahan-lahan matanya terbuka, ia kaget karena merasa kamar yang bercat putih ini bukan kamarnya. Ia baru ingat ini bukan kamarnya, ini kamar Kiku adiknya Auggie. Ia mulai mengembalikan memorinya apa saja yang terjadi kemarin, pelan-pelan ia mulai ingat.
“Woii! Bangun dasar kebo, ini udah mo telat. Cepet bangun!” suara Auggie terdengar dari luar kamar disertai gedoran pintunya yang nggak sabaran.
“Iya! Ini gue udah bangun. Emang seka…” baru membuka pintu, Torrie nggak jadi ngomong karena melihat Auggie hanya menggunakan handuk.
“Lho! Elo sendiri belum pake baju, tapi udah nyuruh orang cepetan.” Torrie protes.
“Gue itu cowok, cepet pake bajunya. Elo itu cewek, udah mandi lama dandan juga lama.”
“Enak aja, gue bukan cewek yang doyan dandan!”
“Pokoknya gue nggak mau tau. Sekarang jam 6 seperempat, jam setengah 7, lo harus udah siap berangkat.” Auggie menutup pintu dengan kasar.
“Ih, nyebelin banget sih! Jangan-jangan dia masih marah sama gue. Mungkin kemarin dia pikir gue sok tau…”
Ponsel Torrie bunyi, ternyata mami…
“Napa, Mam? Opa gimana? Dia sakit apa?”
“Opa stroke lagi, tapi keadaannya udah baikan, nggak terlalu kritis. Jadi mami pulang hari ini. Papi tetep di sini, jagain opa sama Om Chris. Kamu kemarin kenapa nggak ngangkat telponnya mami?”
“Ng…ngng…Torrie udah tidur, Mam?” Torrie terpaksa berbohong. “Torrie boleh jenguk opa nggak?”
“Jangan dulu deh. Nggak ada yang bisa nganterin kamu ke rumah sakit. Masa Mami? Mami khan capek banget, papi juga jagain opa semaleman.”
Selanjutnya Torrie tetap memaksa ingin menjenguk, dan seperti biasanya mami nggak kasih ijin, Torrie baru inget, ia harus sudah siap sekolah dalam 15 menit. Jadi ia buru-buru menyudahi pembicaraan dan mandi ala koboi.
Begitu ia keluar kamar, Torrie menabrak seseorang.
“Aduh,Gie. Gue udah siap nih, eh elonya masa belom pake seragam.”
Cowok itu malah tersenyum, “Lupa ya, gue bukan Auggie. Tapi Nicky.”
Torrie memukul kepalanya, ia lupa kalau si bunglon itu punya kembaran. Kemunculan Nicky tidak pernah ia sangka, foto-foto yang kemarin dilihatnya tidak ada yang menunjukan foto anak kembar. Mungkin mereka foto sendiri-sendiri.
Torrie jadi gugup, karena ia merasa ada kemungkinan pangerannya adalah Nicky juga. Bahkan sangat yakin karena nggak mungkin pangerannya itu orang seperti Auggie.
“Sorry, gue nggak bisa ngebedain kalian…” Tiba-tiba pembicaraan terputus karena bunyi klakson motor Auggie.
“Iya, iya bentar lagi gue turun!” teriak Torrie. “Ehm…sorry ya. Gue…gue turun dulu.”
Lagi-lagi Nicky tersenyum. Senyum yang sangat manis.
* * *
“Ehm…Rie.”
Suara Simon yang berat mengagetkan Torrie yang sibuk ngerjain pr matematika di kelasnya, karena mami lupa bawain buku matematika kemarin.
“Eh, elo Mon. Nyariin Niken, ya? Niken nggak ada tuh, tau deh ke mana?”
“Gue nggak lagi nyari Niken, gue lagi pengen ketemu elo. Ganggu nggak?” Simon duduk di sebelah Torrie.
Torrie berhenti menulis, Torrie bingung, ada angin apa Simon mencarinya? Torrie jadi curiga jangan-jangan Simon suka lagi sama Torrie. Torrie berusaha menghilangkan pikiran negatif itu jauh-jauh.
“Nggak sih. Gue juga mau selesai kok. Ngomong aja. Emangnya ada apa? Tentang Niken?”
“Iya, tentang Niken.”
Amin, untung bukan tentang gue…
“Niken kenapa?”
“Gue tau elo mungkin nggak suka hubungan gue sama Niken, dan gue tau juga elo itu sayang banget sama Niken, makanya elo hanya berusaha melindungi Niken dari orang-orang macam gue. Tapi percaya gue, Rie. Gue emang bukan anak baik-baik, gue suka ngerokok, minum, nongkrong nggak jelas, selalu bikin keributan, tapi gue janji bakal setia sama Niken…” Simon terdengar seperti memohon.
Torrie yang sejak tadi menahan tawanya, akhirnya tak kuat dan terdengar tawanya lepas sampai-sampai anak satu kelas memandangnya.
“Sorry! Sorry! Gue kelepasan, gue nggak nyangka aja elo bakal ngomongin ini. Mungkin Niken belum jelasin ke elo. Gue itu sama sekali nggak nentang hubungan elo, gue cuma pengen kalian yakin sama hubungan kalian. Soalnya bukan apa-apa kalian itu jadian dalam hitungan hari, gue cuma nggak yakin aja. Tapi sekarang gue yakin kok, apalagi setelah denger pengakuan lo tadi.”
Simon terlihat malu, wajahnya memerah.
“Kalau begitu, harusnya gue yang minta maaf sama elo, gue kira elo benci sama gue. Gue janji nggak lagi jadi brutal, gue akan berusaha jadi anak baik-baik.”
“Nggak papa kok, Mon. Salah paham itu biasa. Gue jadi seneng elo mau berusaha untuk lebih baik lagi…Ehm..” Tiba-tiba dada Torrie menjadi sesak, ia memegang dadanya.
“Napa, Rie?”
“Biasa, serangan asma gue. Mungkin gue ketawa terlalu keras tadi, sampai sampai kehabisan nafas.” Torrie masih sempat bercanda, padahal rasanya sangat sakit dadanya sangat sesak. Cepat-cepat Torrie mengambil obat inhaler-nya, lalu ia menghirupnya dengan mulut.
Aneh, ia teringat lagi akan pengalamannya semalam. Semalaman ia naik motor diterpa angin dingin tapi nggak dapet serangan, padahal ada angin atau udara dingin sedikit aja, pasti penyakit Torrie kambuh. Atau karena ada Auggie, ia jadi punya spirit, dan penyakitnya itu nggak kambuh.
“Elo, udah nggak papa? Gue anter ke UKS ya?”