Semenjak kemarin, Torrie terbaring lemah dengan dada yang masih sesak. Tapi tetap saja yang ia pikirkan bukan kesehatannya, ia malah memikirkan apa yang dipikirkan Auggie.
Auggie pasti syok ngeliat gue kayak gini. Apa gue salah? Seharusnya gue bilang dari dulu kalo gue punya asma, dan gue bukan cewek sehat yang mungkin selama ini dia pikirkan. Tapi kalo gue jujur, mana mungkin Auggie mau nemenin gue lagi. Dan gue nggak bisa pelan-pelan memberi warna dalam hidupnya Auggie.
Baru sehari tidak bertemu, Torrie sudah rindu wajah Auggie, senyum Auggie, dan mata Auggie. Yang terutama adalah punggung Auggie… Kenapa sampai sekarang Auggie tidak mengunjunginya. Apa dia benar-benar tidak ingin bertemu dengan Torrie. Jangankan berkunjung, telepon atau sms-pun enggak. Dulu aja…, Auggie paling sering ngerjain dia, hanya sekedar miscall atau sms yang nggak jelas.
Terbersit di otak Torrie, ia ingin melupakan Auggie. Mungkin itu satu-satunya jalan. Ia akan kembali ke kehidupan monoton dan tanpa warnanya, walaupun harus menanggung sakit , kehilangan Auggie. Ia juga sudah berjanji pada Tuhan, tidak akan mengungkit-ungkit lagi keinginan hidup normalnya. Ia akan hidup berserah kepada Tuhan saja, mungkin kebahagiaannya akan datang nanti... di saat yang tepat.
Torrie tersenyum sendiri, itu berarti ia harus masih bersabar menunggu kebahagiaannya, dan itu berarti, umurnya masih panjang. Torrie harus bersyukur senantiasa pada Tuhan, walaupun dari dulu ia telah lelah menghadapi semuanya.
* * *
Torrie sangat mantap dengan keputusannya. Ia tak akan lagi mengharap lagi. Dia telah menjadi Torrie yang tegar lagi.
“Rie, elo nggak papa?”
Pertanyaan rutinitasnya muncul lagi.
“Nggak papa kok, Nik.”
“Tapi…elo tuh pucat banget, kata nyokap lo, elo nggak mau makan dari kemaren. Gue jadi ikut cemas, nih.” Seperti biasa ternyata Niken tidak berubah teteap memperhatikannya. Begitu dengar Torrie sakit, Niken langsung berkunjung.
“Elo nggak liat muka gue?” Torrie memberikan senyum termanisnya pada Niken. “Gue sekarang mau makan kok! Bawa ke sini makanannya, biar gue abisin semuanya, tapi…suapin. Ya, Nik? Ayo, suapin gue donk...” Torrie dengan nada manja.
“Jangan kayak anak kecil deh? Elo kok jadi aneh, biasanya orang sakit nggak mau makan. Eh, ini malah minta makan.”
“Jadinya elo maunya gue makan atau enggak nih?” Torrie ngambek.
“Ya, pengen elo makanlah! Emangnya kemaren ada kejadian apa sih? Kok asma lo sampe kambuh lagi?”
“Udahlah, gue mau lupain semuanya, terutama Auggie. Tolong, Nik jangan tanya macem-macem dulu. Entar gue pasti cerita tapi nggak sekarang. Sekarang gue pengen cepet sembuh, biar bisa sekolah lagi sama sahabat gue ini…” Torrie mencubit pipi Niken dengan gemas.
“Oke! Oke! Tapi lepasin dulu tangan lo, sakit!” Niken mengerang kesakitan.
Lara masuk ke kamar Torrie membawa nampan yang berisi semangkok bubur.
“Sorry ganggu, tapi ini waktunya makan. Torrie, kamu harus makan. Aku nggak mau tau! Pokoknya harus. Dari kemarin, kamu nggak mau makan.” Lara menyuruh Torrie dengan logat Jogja-nya yang khas.
“Wah, dia telat, Nik.” Torrie membuat Lara penasaran.
“Telat apaan?”
“Tau nih, si Torrie tiba-tiba aja pengen makan. Katanya pengen cepet sembuh.”
“Wah, bagus tuh. Kalo gitu, cepet dimakan. Nanti keburu dingin buburnya.”
Tiba-tiba terdengar suara klakson, sepertinya vespanya Simon.
“Ya, ampun… gue lupa di bawah ada Simon!” Niken menepuk dahinya.
“Lho, elo ke sini sama Simon? Kenapa nggak disuruh masuk aja tadi?”
“Gue tadinya mau bentar aja di sini. Biasa, gue mo jalan sama dia, besok khan udah mo masuk. Jadi ya dimanfaatin donk kalo ada kesempatan.”
“Dasar! Orang kalo udah jatuh cinta jadi gini nih, kayak dia, berduaan mulu.” Torrie menimpali, dan membuat Lara tertawa.
“Tapi…bener ya, elo besok masuk. Tapi kalo nggak bisa, jangan maksa.”
“Sippp deh…”
“Eh, iya, Ra… Lo gantiin gue suapin si bayi kecil ini, ya?!” Niken meninggalkan Lara yang bengong karena bingung.
“Suapin…suapin siapa?”
“Dia itu cuma bercanda. Nggak usah dipikirin.” Torrie melambaikan tangannya.
Selesai makan, sejenak Torrie memperhatikan Lara. Dia hampir lupa, Lara adalah pacar Uggie, yah…mungkin mantan…tapi apa bedanya? Toh yang jelas, dia adalah orang yang pernah dekat dengan Uggie dan pernah ada di hatinya juga.
Lara sangat jauh berbeda darinya, ia sangat cantik dan manis, pembawaannya pun selalu ceria tapi lembut, mungkin karena pengaruh daerahnya. Matanya sayu bagai puteri keraton, setidaknya dalam pikiran Torrie puteri keraton memiliki mata yang seperti yang dimiliki Lara. Untuk remaja perempuan seusianya, Lara juga cukup tinggi.
Torrie membandingkan dirinya dengan Lara. Apalagi saat ini dia begitu pucat. Bahkan, ia sangat ingin menjauh dari cermin saat ini.
“Rie, jangan ngeliatin aku kayak gitu. “
“Sorry, elo keliatan makin cantik aja.”
“Ah, kamu juga, Rie. Bahkan waktu di bandara aku hampir-hampir nggak percaya itu kamu!” Lara memang terbiasa merendah dan tidak merasa dirinya cantik.
“Jangan nyindir gitu donk!” Torrie tersipu malu, ia merasa pipinya memanas.
“Serius! Ehm…Rie, kok kamu bisa deket sama Luke?”
LUKE! Kenapa dia harus bertanya tentang Auggie di saat Torrie ingin melupakannya.
“Oh…maksud lo Auggie. Kan gue bilang Dia itu tetangga gue rumahnya di depan. Bahkan elo bisa ngeliat kamarnya dari sini.”
“O, ya! Abis nganterin kamu ke kamar, aku sibuk nyariin obatmu , tiba-tiba dia ngilang jadi aku nggak tau kalo dia tinggal di depan rumahmu.”
“Hubungan lo gimana sama dia?”
“Dia…si Luke? Ya… nggak tau aku. Soalnya tiba-tiba dia pindah dan denger-denger di Jakarta. Eh, ternyata di depan rumah ini. Terakhir ketemu, aku sempet marah sama dia soalnya pas aku sakit tipes, dia sama sekali nggak jenguk aku. Makanya jangan heran dia nggak ngunjungin kamu hari ini.”
“Gue tau kok soal pobhianya.”
“Kalau kamu sendiri gimana?”
“Maksud lo?”