Tiba-tiba ada yang menarik Torrie kemudian mendekap erat tubuhnya. Tubuh yang mendekapnya basah kuyup.
“Gue di sini, Rie. Gue…bukannya gue nggak mau jawab tapi elo yang sekarang nggak pernah nanggepin gue. Tapi gue udah tau semuanya sekarang, gue udah ngerti keadaan lo…”
Torrie terpaku, tidak bergerak sama sekali dan sangat pasrah ketika dipeluk Auggie. Tubuhnya seketika lemas sewaktu yang memeluknya adalah Uggienya. Torrie sama sekali nggak peduli walaupun rasanya kurang enak didekap oleh tubuh yang basah, Torrie tetap merasakan kehangatan Auggie. Ia merasa ini adalah mimpi. Tapi bagaimana Auggie tahu Torrie ada di sini.
“Akhirnya gue bisa nemuin elo. Torrie, kenapa elo mesti kabur?” Auggie masih belum merenggangkan pelukannya.
Torrie merasa sesak nafas…karena bahagia. Auggie bisa menemukannya di tempat itu. Tapi ia bingung harus memulainya dari mana? Auggie memanggilnya Torrie. Semenjak Auggie menyebut nama itu, Torrie semakin merasa berharga. Apalagi Auggie memeluknya seperti ini. Hampir saja ia membalas pelukkan Auggie, tangan Torrie mulai naik ke pinggangnya dengan ragu, tapi…Torrie malah mendorongnya.
“Jangan dekat-dekat!” Torrie menjauh. “Dari mana elo tau gue di sini?” Torrie menatap tajam Auggie yang basah kuyup oleh hujan. Bahkan air masih menetes dari rambutnya.
“Tumben juga elo manggil gue Torrie. Mau nyari simpati? Asal elo tau aja, mau gue kabur, kek! Enggak, kek! Itu urusan gue! Atau…elo mau ngambil jaket sama dompet lo? Nih…dompet lo, mungkin isinya berkurang. Nanti gue ganti!” Torrie melempar dompet Auggie ke tepat di wajah Auggie.
“Nih!...Jaket lo! Juga gue nggak butuh!” Torrie melepas jaket kulit Auggie dan melemparkannya ke lantai. Lalu Torrie duduk di bangku untuk pengunjung tadi dan menangis.
Auggie mengambil dompet dan jaketnya, lalu mendekati Torrie. Jarak mereka sekitar 2 meter.
“Rie, gue nggak tau salah gue di mana? Atau karena phobia gue? Gue yakin penyakit ini nantinya pasti ilang.” Lirih Auggie.
Torrie tetap menangis, ia sangat menyesal berkata kasar seperti itu pada Auggie, tapi ia masih ragu dengan Auggie tapi tujuan utamanya adalah menjauh dari Auggie agar Auggie nggak menderita kalau melihatnya sakit.
“Oke! Oke! Kalo elo nggak mau dengerin gue. Tapi elo harus dengerin sebuah cerita…”
Auggie duduk di sebelah Torrie, lalu mengangkat dagu Torrie dan menghapus air matanya. Sikap Torrie mulai melunak, walaupun akhirnya wajahnya berpaling lagi dari Auggie.
“Ha…ha…hatsssyiii…” Torrie menutup hidupnya dengan tangan.
Auggie memakaikan jaketnya ke punggung Torrie.
“Dulu… sekitar sebelas tahun yang lalu. Ada seorang anak laki-laki yang merasa paling menderita di dunia. Bahkan perasaan itu ada sampai ia telah besar. Papanya meninggal tepat setahun sebelum adiknya meninggal. Sepertinya orang-orang yang disayanginya mulai pergi meninggalkannya.” Pandangan Auggie meneawang jauh ke depan.
“Ketika adiknya masih hidup. Adiknya sering sakit-sakitan, ia sangat menderita melihat adiknya yang sering sekali dalam keadaan sekarat. Di rumah sakit, tempat adiknya dirawat, ia juga melihat orang-orang yang menderita seperti adiknya. Ia sangat kecewa dengan Tuhan, karena Tuhan sepertinya nggak nolong mereka. Kekecewaannya semakin bertambah ketika adiknya meninggal.” Mata Auggie menatap tajam seperti memendam sesuatu.
“Anak kecil itu agak terguncang jiwanya karena syok. Mamanya berniat untuk segera memindahkan anak itu keluar kota, agar ia dapat melupakan segala kenangan pahit di kota ini. Tapi karena mamanya harus mengurus usaha yang ditinggal suaminya, anak itu dikirim ke omnya di Jogja. Tapi yang namanya kenangan ya tetap kenangan, nggak akan pernah terlupakan. Tapi tepat sebelum anak itu pergi ke Jogja, rumah kosong di depan rumahnya ditempati oleh sebuah keluarga. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang berwajah sangat pucat dan terlihat sangat lemah. Tapi anak laki-laki itu tertarik oleh matanya. Mata yang hingga kini masih diingat oleh anak itu.” Auggie tersenyum sendiri karena mulai mengingat kenangan manis masa lalunya.
Torrie menatap wajah Auggie dari samping, seakan hampir tidak percaya dengan perkataannya.
“Walaupun anak itu di Jogja tapi ia masih mengingat wajah anak perempuan itu. Tanpa dia sadari ia telah jatuh cinta. Setiap liburan atau kesempatan digunakannya untuk pulang dan melihat anak perempuan itu dari jauh. Hal ini berlangsung selama betahun-tahun. Tapi…ia begitu pengecut, karena nggak pernah berani untuk mendekatinya bahkan bertanya apapun tentang anak perempuan itu. Anak itu selalu penasaran dan selalu ingin melihat anak perempuan itu tepatnya matanya, karena mata itu seperti menunjukan kemurnian suatu keteguhan dan keberanian menjalani hidup yang sebenernya gue nggak punya…” Auggie kelepasan bicara, tapi sekalipun enggak pun, Torrie tetap tahu siapa yang dimaksud dengan kedua anak tadi.
“Jadi…jadi selama ini elo juga masih inget sama gue? Gie! Gimana caranya? Nggak mungkin!” Torrie memandang Auggie tetap dengan pandangan nggak percaya.
“Mungkin aja. Sama halnya dengan elo masih inget sama pangeran lo padahal kalian ketemu cuman beberapa menit.”
“Pasti Niken yang ngasi tau semuanya! “ Tuduh Torrie.
“Elo tuh ngeselin, ya! Nikennnn…mulu yang disalahin! Dia cuman cerita tentang pangeran doank. Bagaimana mungkin Niken bisa tau elo pake baju apa waktu itu.”
“Emang warnanya apa?” tantang Torrie.
“Pink, khan?”
“Ya…ya mana gue tau. Itu khan udah lama banget. Dua hari yang lalu gue pake baju warna apa aja gue nggak inget. Bukannya yang gue liat waktu itu Nicky.”
“Terserah kalo elo nggak mau percaya. Gue udah pasrah dan nyerah. Gue nggak tau lagi harus ngomong apa lagi, supaya elo ngerti! Tuhan, pake bahasa apa supaya dia ngerti! Tapi elo bener pangeran lo itu Nicky, gue ngeliat elo dari balik jendela. ” Auggie memalingkan muka karena kesal.
“Yang harusnya ngambek itu khan gue! Bukan elo! Dan satu lagi, jangan bawa-bawa Tuhan! Untuk ukuran orang yang kecewa sama Tuhan, elo tuh nggak pantes nyebut nama-Nya.” Protes Torrie. “Gue kasih elo kesempatan. Tapi elo harus jawab pertanyaan gue dulu dengan jujur!”
“Apa pertanyaannya?” Auggie kembali menatap Torrie penuh harap.
“Kenapa elo bisa yakin, elo cinta sama gue? Padahal khan berdasarkan cerita lo, elo itu kayaknya cinta sama mata gue!”
“Tadi cerita gue belum selesai…Harus gue akui, gue adalah pengecut sejati dalam soal-soal kecil seperti…ya elo tau sendiri lah, phobia gue. Setiap gue ke sini selain jenguk nyokap, gue juga sering ikut trek tapi tujuan utama adalah ngeliat elo, tapi gue nggak berani deketin elo. Tapi ada yang nyuruh gue untuk ngejer cinta masa kecil gue yang membuat gue selalu nolak cewek yang dateng dalam hidup gue. Setelah gue pindah ke sini dan semenjak kejadian tabrakan kita itu gue…gue jadi semakin ingin mengenal lo lebih jauh lagi. Tapi gue nggak pernah punya pengalaman deketin cewek, makanya sikap gue jadi aneh sama elo.”
Torrie mulai mengerti mengapa Auggie selalu aneh dan sikapnya selalu berubah.
“Kalau bukan cinta kenapa semakin gue kenal elo, semakin gue merasa selalu ingin di deket elo. Bahkan secara nggak langsung elo udah ngubah hidup gue.”
“Misalnya?”
“Gara-gara omongan lo gue mulai sadar bahwa Tuhan itu sayang sama semua anak-anakNya, termasuk gue. Dia pasti punya rencana besar untuk kita. Dan gue udah ngerasain rencana-Nya. Elo adalah rencana-Nya, karena elo yang buat gue percaya lagi sama Dia. Elo selalu bikin hati gue selalu tenang. Bahkan sekarang gue bisa berserah sama Tuhan, gue di sini karena Tuhan yang ngingetin gue, elo pernah cerita tentang tempat ini ke gue.”
“Waktu gue ketemu elo di gereja itu elo udah percaya sama Tuhan.”
Auggie menggeleng, “Belum. Waktu itu gue cuman pengen mastiin kaki lo nggak kenapa-napa.”
Torrie tersentuh perhatian Auggie yang selalu luput dari matanya. “Tapi masih ada yang bikin gue bingung, kalo bener elo udah ngeliat gue, bahkan bertahun-tahun. Kenapa elo nggak tau kalo gue punya sakit asma?”
“Rie, khan udah gue bilang. Gue cuman bisa ngeliat elo dari jauh, muka lo emang sering keliatan pucat tapi gue pikir itu emang dari sananya. Gue sama sekali nggak berani nanya nyokap gue tentang elo, walaupun nyokap tau gue suka sama elo. Jangankan berani berinisiatif untuk ingin tau aja nggak ada, buat gue bisa ngeliat muka lo aja gue seneng banget.”
“Oooo…jadi itu alasannya gue nggak pernah ngeliat elo.”
Auggie tertawa, rasanya sudah lama sekali ia tidak tertawa seperti ini.
“Waktu elo nginep di kamar Kiku, saat itulah pertama kali gue benar-benar berani di kamar adek gue itu. Sebelumnya gue trauma dan nggak berani ke sana. Sekalinya berani cuma bentar. Tapi sekarang rasa trauma gue mulai menghilang, bahkan gue tidur di sana.”
Torrie ikut tertawa mengingat bahwa yang dilihatnya lampu kamar Kiku sempat menyala pasti Auggie dulu, tapi terhenti ketika Auggie menatapnya.
“Kenapa ngeliat gue kayak gitu?” Torrie selalu salting kalau dilihat Auggie seperti itu.
“Senang rasanya bisa ngeliat elo ketawa lagi. Rie, nggak ada yang bikin gue lebih tersiksa lagi selain ngeliat elo sedih dan nyuekin gue. Sekarang giliran gue yang nanya, katanya Lara, elo hampir alergi dengan semua jenis makanan, tapi kenapa elo nggak sakit waktu kita jalan-jalan kemarin?”
Torrie tersenyum penuh rahasia, “Itu rahasia Tuhan, gue juga nggak tau.”