"Ni, lu beneran putus dari si Giyan?"
Aku yang ditanya hanya diam seribu bahasa. Tak berminat untuk memberikan jawaban.
"Sumpah demi apa lu putus ama dia?"
Aku masih sibuk mengerjakan sesuatu di laptop. Bukan, bukan masih sibuk. Tetapi aku hanya berusaha terlihat sibuk, sok sibuk. Dalam hati, aku ingin sekali mengusir teman tersayangku ini dari kamarku. Ia benar-benar membuatku muak dengan semua pertanyaannya seputar Giyan sejak kemarin sore. Dan, sampai hari ini.
"Huuurrff.” Masih ada sesak di dadaku setiap kali orang bertanya tentang Giyan. Ya, Giyan si mantan.
"Gua pikir lu bakal ampe merit ama dia. Sumpah dia brengsek banget." Dan, aku benar-benar menendangnya keluar kamar.
G I Y A N :
Si Man-tan
Brengsek, penipu, pemberi janji palsu, pengkhianat, hobi selingkuh, perusak wanita, lelaki tidak bertanggung jawab, lelaki gila yang membuatku jatuh terpuruk, menangis berhari-hari, membuatku dikasihani oleh banyak orang di luar sana.
Membuatku merasa, BODOH.
Giyan, si PRIA JAHAT.
Giyan, si PRIA RENDAHAN.
Giyan, si PRIA yang gagal menikahiku.
Ya, kami gagal menikah. Tidak, bukan gagal, kami bahkan belum membicarakannya dengan keluarga masing-masing. Ini hanya rencana kami berdua. Ya, ini hanya keinginanku dan Giyan. Sebelum, akhirnya aku tahu rupa Giyan sebenarnya.
Hari itu,
"Yang, kamu udah bilang belum sama Bunda kamu?"
"Bilang apa?"
"Kok bilang apa sih!" Giyan mengerutkan dahinya. Manis, menurutku.
"Yang?"
Aku sibuk memainkan ponsel. Sengaja, aku ingin membuat Giyan kesal. Menyenangkan rasanya melihat Giyan yang kesal menginginkan perhatianku.
"Yaaaang!" Giyan merengek. Aku tersenyum, merasa senang dengan panggilan pacarku ini.
"Appaaaaaaaaa?" aku mengalihkan pandanganku pada Giyan. Ada senyum pada wajah pria yang kupandangi sekarang. Senyum itu, tanda bahagia. Bahagia karena mendapatkan perhatianku kembali. Aku rasa begitu.
"Aku belum bilang Bunda," sambungku.
"Kok?"
"Kok?" tanyaku balik dengan satu alis terangkat.
"Aku serius mau nikah sama kamu Hani. Menikahlah denganku?"
Giyan menatap lekat manik coklat di mataku. Memberitahuku akan kesungguhannya. Dan aku melihatnya. Sangat jelas.
Tak ada kebohongan di manik hitam Giyan. Giyan tidak tahu jantungku terus berdebar kencang, desiran-desiran dingin menjalari setiap pembuluh darahku sekarang. Rasanya ada yang menggelitik di dalam perut, mungkin beberapa kupu-kupu beterbangan di dalam sana.
Aahh, aku benar-benar menyukai perasaan ini. Sampai tak kuasa menahan senyum di bibir. Sesuatu seolah memaksaku untuk terus melengkungkan garis di sana. Bahagia tiada tara. Saat itu, gadis mana yang tak bahagia mendapati dirinya dilamar sang pujaan hati? Mengetahui kenyataan, bahwa ada seorang pria yang siap untuk menikah dan menghabiskan setiap detiknya bersama.
Ya, Giyan benar-benar ingin melewati setiap detik bersamaku. Perempuan yang ia impikan setiap malamnya. Perempuan yang ia cintai sepenuh hati. Almira Farhani. Ya, itu aku. Aku sangat percaya diri untuk itu.
Aku masih mengukir senyum. Perlahan, kuanggukan kepalaku. Memberi jawaban atas pertanyaan Giyan. Hati kami sama-sama berdesir, membuncah bahagia, hingga,
"Giyan?" seorang perempuan bertubuh langsing menghampiri Giyan. Wajahnya seketika memerah, marah. Begitupun Giyan, wajahnya seketika terlihat panik.
Siapapun, beritahu aku siapa perempuan ini?
"Giyan?" perempuan itu semakin mendekatiku dan Giyan. "Kamu Giyandra kan? Kamu ke mana aja?"
Perempuan itu akhirnya mengambil tempat duduk di sebelah Giyan. Mencoba melihat manik Giyan yang sejak tadi hanya memandangku khawatir. Sejenak, perempuan itu mengalihkan pandangannya padaku.