TOUR de GARUT

Eli Rusli
Chapter #1

Bertemu Ferdinand Sinaga

Pagi yang dingin. Angin dingin. Hari yang dingin. Namun, cuaca yang muram ini tidak menyurutkan tubuhku beringsut dari dekapan selimut dan belaian si cantik mimpi. Usapan air wudu di wajahku menambah gairah guna menantang hari yang dingin ini. Dengan setelan baju putih, celana pendek biru, dan sepatu olahraga putih pucat tanpa kaus kaki, penuh percaya diri (terlalu berlebihan) melangkah meninggalkan kamar kontrakan. Titik-titik air bekas amuk hujan semalam menempel ragu-ragu antara ingin terjun bebas ke permukaan tanah atau menetap sementara di permukaan dedaunan sebelum terbang kembali ke langit bersama si raja siang. Raja siang sendiri sepertinya malas beranjak dari peraduan. Sebentar terang, sekejap menghilang. Tetapi sepasang kaki tegar penuh semangat empat lima melompat-lompat kecil menghindari cileuncang.

Angin segar membawa pikiran segar. Tidak membawa benang kusut yang kusimpan di kamar kontrakan. Sepasang kaki ibarat sepasang kekasih, tertawa, bercanda, bergerak mesra selaras dengan sepatu menuju satu tempat tujuan, sebuah tempat berkumpulnya sebagian warga Kota Bandung saban Minggu pagi. Siapa tahu menemukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita cari. Kotoran kuda misalnya. Atau sesuatu yang kita cari tetapi tidak diketahui keberadaannya. Jodoh kali? Pokoknya itu mah rahasia Illahi. Intinya, aku ingin mencari sesuatu yang baru di Minggu pagi ini. Kecuali baju dan sepatu baru karena isi dompet sedang sekarat.

Sangat menyenangkan melangkahkan kaki sendiri guna menghilangkan penat menuju car free day. Menyusuri jalan becek tidak masalah, tanpa ojek pula, yang penting sendi-sendi badan bergerak sebab menurut filosopi para pakar kesehatan wajib hukumnya seluruh jiwa raga diolahragakan. Ya..., minimal satu kali dalam satu minggu. Tidak boleh terlalu banyak duduk di belakang meja saja takut diam-diam korupsi.  

Kedua kaki melepas lelah di depan Dago Cikapayang. Huruf-huruf besar beraneka warna tampak murung diperkosa tangan-tangan jahil yang tidak percaya diri. Atau... Jangan-jangan pengecut yang mengekspresikan diri dengan tidak tahu diri. Orang-orang lalu lalang, berjalan kaki, bersepeda memasuki car free day Dago. Kelelahan selepas melangkah sepanjang puluhan kilo sedikit terbayar oleh alunan suara Raisa yang membelah Jalan Dago dari sebuah stasiun radio yang nongkrong di depan bangunan factory outlet. Lelah semakin terbayar, mendekati lunas, setelah ikut berbaris untuk mendapatkan sebotol minuman gratis bersponsor yang iklannya wara wiri di televisi. Tanpa ragu tanpa malu, yang penting tidak malu-maluin aku mendapat sebotol minuman gratis. Namun kebersamaan dengan si botol minuman ini tidak berlangsung lama. Seorang anak kecil menangis memecah langit, mengeluarkan air mata tentunya bukan darah segar, menggegerkan pengunjung car free day. Jari mungil tangannya menunjuk-nunjuk tidak berdosa ke arah botol minuman dalam genggamanku. Seorang ibu muda berwajah rupawan melepas senyum, ya… rada-rada menyenggol hati gitu. Luruh deh… Maklumlah lelaki kekar bercorak hati pink. Dengan rada-rada tidak rela alias ikhlas yang dipaksakan (mana ada ikhlas dipaksakan kawan) aku memindah tangankan botol minuman yang baru beberapa menit dalam pelukan mesra tanganku. Si ibu muda kembali menghadiahkan seuntai senyum.

“Terima kasih,” ucapnya. Em….mmm. Aku terpesona. Gede rasa.

Meluncur ke Jalan Dago atas, sepasang kaki mengajak berhenti sejenak di depan SMAN 1 Bandung. Kedua bola mata melirik nakal kepada buku-buku yang dipajang di mobil perpustakaan keliling Kota Bandung. Sepertinya sepi peminat. Hanya beberapa kutu buku yang terlihat khusyu memilih-milih buku, bukan gorengan. Kondisinya sangat jauh berbeda dengan situasi di depan saung makanan dan pakaian yang berada di bibir-bibir toko yang belum merekah. Aroma masakan yang menusuk-nusuk hidung serta potongan harga baju jauh lebih menarik perhatian bola mata pengunjung car free day. Meski harus mengeluarkan isi dompet toh mereka rela berdesak-desakan ria menyalurkan hasrat belanjanya.

Tepat di bawah jembatan penyebrangan aku menangkap sesosok tubuh berlumur hiasan tato di kedua tangannya, berambut cepak, berbaju Persib Bandung dengan nomor punggung 17, diatasnya tercetak jelas nama Ferdinand Sinaga. Otak langsung bereaksi dengan cepat seperti premium tersiram api. Wah... Ferdinand Sinaga? Tanpa basa basi. Tetapi takut basi. Aku buru-buru mengeluarkan ilmu lari kaki angin. Sebuah ilmu silat warisan Eyang Sinto Gendeng, suhunya Wiro Sableng yang sama-sama gila. Aku melesat memburu sosok itu. Sedikit SKSDSA (Sok Kenal Sok Dekat Sok Akrab) aku menyapa lelaki itu.

“Wilujeung Enjing! Kang Ferdinand nya?”

“Oh.. Wilujeung Enjing! Betul saya Ferdinand. Anda siapa ya?”

“Oh... Saya Aa Ruslie, tapi bukan saudaranya Aa Gym, Aa Gatot, atau Aa Jimmy, bobotoh Persib, penggemar anda.”

Tanpa ba... bi... bu.. Aku mengajak Ferdinand berfoto ria. Kemudian meraih tangan kanannya agar mengikuti langkah kakiku dan duduk di atas pembatas jalan.

Dengan lagak seperti Jeremi Teti... eit. Jangan-jangan. Terlalu lebay. Dengan gaya Aiman penyiar Kompas TV aku menatap muka Ferdinand Sinaga.

“Punteun Kang! Mengapa Kang Ferdinand ada di sini? Bukannya sudah di Sriwijaya FC (SFC)?”

Jadi teu meunang saya ada di sini?” Tiba-tiba Ferdinand morongos.

“Eh...Punteun Kang sanés kitu.”

“Lah bohong manéh mah. Pasti mau menyalahkan saya karena pindah ke SFC. Begini-begini, saya sudah membawa Persib Bandung juara setelah 19 tahun puasa gelar.”

Sebelum Ferdinand mengamuk lebih hebat aku buru-buru memanggil tukang susu Pangalengan yang kebetulan lewat. Apes... Keur teu boga duit téh kudu ngamodal. Tapi baèlah nu peunting mah Ferdinand teu ambeuk-ambeukan. Setelah disogok segelas susu Pangalengan raut muka Ferdinand rada berseri-seri.

“Enak. Beli lagi dong!”

Lihat selengkapnya