Ferdinand Sicacing dan kawannya lenyap dari radar kedua bola mataku. Kini, otak mulai melakukan pekerjaannya. Berputar-putar, menyusuri hutan, lautan, angkasa, padang pasir sampai menemukan sebuah titik wajah yang dicari. Ohhh... Aku tahu sekarang. Lelaki yang berjalan dengan Ferdinand Sicacing wajahnya mirip dengan Ariel Noah, vokalis yang penah tersandung kasus video mesum. Meminjam jurus langkah seribunya Gundala Putra Petir, aku berlari secepat kilat mengejar langkah mereka.
Tidak mudah mengejar lelaki berwajah Ariel. Di tengah lalu lalang lautan manusia yang tumpah ruah di car free day Dago, aku mengeluarkan segenap tenaga dalamku. Sekarang, jurus belut berkelit-kelit yang tidak sengaja diperoleh ketika ngurek di sawah, aku demontrasikan. Kaki kanan dan kaki kiri seirama bin kompak, bergerak lincah di tengah-tengah ratusan kaki, ban sepeda, dan hentakan musik pengiring senam pagi. Tubuh kurusku terpaksa menabrak tubuh ibu-ibu gendut yang penuh semangat empat lima mengikuti irama goyang caesar. Barangkali beliau sedang membakar timbunan lemaknya supaya timbangan berat badannya berkurang.
“Hati-hati atuh Jang. Matanya lihat-lihat dong!” Teriaknya marah.
Aku tidak peduli. Pokoknya aku harus bisa menjaring manusia berwajah Ariel bukan berwajah tengkorak. Ini adalah momen langka. Yang belum tentu datang dalam jangka waktu satu jam sekali. Siapa tahu aku mendapat informasi yang sebenarnya tentang kasus Ariel dibandingkan jaksa dan hakim yang mengadilinya. Atau ceritaku akan lebih up to date dibandingkan koran-koran dan media elektronik yang lebih banyak gosipnya. Siapa tahu aku dapat menjual beritanya ke koran-koran. Kan lumayan, dapat duit, terkenal tanpa harus bersusah payah seperti artis dadakan yang mengikuti audisi aneka lomba di televisi swasta. Pokoknya aku akan memanfaatkan tatap muka dengan Ariel demi mendatangkan keuntungan ekonomi. Aku tidak peduli dengan omongan orang nanti, yang penting terkenal. Bukankah Farhat Abbas juga terkenal dengan komentar-komentar nyelenehnya? Hai! Hai! Sadar! Sadar! Kamu itu bukan Farhat Abbas. “Astagfirullahaladzim...,” pekikku pelan.
Dengan mengandalkan jurus napas teratur dari Kang Jaka Sembung, supaya tidak terlihat ngos-ngosan aku berhasil mengejar mereka.
“Kang...! Kang....! Kang Ferdinand...!” Suaraku lantang memecah Jalan Dago.
Ferdinand dan kawannya pelan-pelan menghentikan ayunan langkah kaki yang akan menginjak jalan aspal. Persis seperti adegan slow motion kaki mereka berdua berhenti di udara. Begitu aku berdiri di depan mereka, aku gunakan jurus hentak bumi warisan Si Buta dari Goa Hantu ke aspal sekuat tenaga. Dalam sekejap kaki mereka pun kembali menginjak bumi.
“Punteun Kang ngaganggu,” kataku.
Dua bola mata liar memburu wajah di samping Ferdinand.
“Ariel ya?” kataku dengan keyakinan seribu persen.
“Bukan!”
“Ariel?”
“Bukan!”
“Ariel?” Aku tetap memaksa.
“Bukan!” Dia teguh pada pendiriannya.
“Ariel?” Aku tetap memaksa.