Aku tidak menyukai anak-anak perempuan di kelasku ini. Mereka semua sombong dan tidak pernah mendengarkanku bicara. Padahal aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun pada mereka. Jadi, kenapa mereka semua membentuk geng sendiri dan meninggalkanku?
Yang mau mengajakku bermain hanyalah anak laki-laki. Baiklah, aku juga tidak masalah. Lagipula, anak laki-laki itu enak diajak bermain. Mereka selalu bersemangat dan bicara blak-blakan. Akhirnya teman bermainku hanyalah anak laki-laki selama di sekolah ini.
Tapi, dalam kerja kelompok, semua anak laki-laki dan perempuan jadi satu. Aku paling malas kalau tugas kelompok begini. Lebih baik aku mengerjakan tugas sendirian. Toh, nilaiku juga lebih bagus kalau kukerjakan sendirian.
“Untuk tugas jualan, lebih baik kita jualan barang apa ya?” tanya Sinta saat kami sedang diskusi di kelas.
Sebagai anggota kelompok, tentu aku juga harus berusaha aktif dan memberi masukan. “Bagaimana kalau kita jualan sosis dibalut mie?” tanyaku sedikit bersemangat.
Sinta hanya menatapku. Kemudian Sarah menyela dengan antusias, “Kita jualan es puter saja!!”
“Boleh juga itu. Sekarang lagi panas-panasnya Surabaya, jadi kalau jualan es puter pasti laris.”
Aku sedikit cemberut. Masa Sinta tidak mendengar ucapanku tadi? Dia sempat melihatku saat aku memberi usul. “Kalau sosis mie bagaimana?” tanyaku masih kekeuh.
Sarah menggeleng dan menatapku malas. “Surabaya lagi panas-panasnya. Kalau jualan gorengan begitu, bisa-bisa yang beli jadi sariawan.”
Itu adalah ungkapan paling tidak masuk akal yang pernah kudengar seumur hidupku. Aku tidak pernah makan gorengan sampai sariawan kok.
“Iya, jangan sosis mie. Yang lain saja.” Akhirnya Sinta menanggapi.
Aku kembali memutar otak. “Es kacang ijo?”
“Itu nggak praktis!” sahut Sarah lagi.
“Iya, cari ide makanan yang praktis dan sehat.”
“Kalau gulali?” usulku lagi.
“Kamu bisa lebih berpikir nggak, Vin? Usulmu nggak ada yang bisa dipakai!” Sarah kembali menyahut dengan malas. Sementara Sinta hanya diam dan mencatat di buku pribadinya.
Ah, kalau begini caranya aku malas memberi saran lagi. Memangnya saranku tidak bisa dipakai, ya? Sudahlah, terserah kalian saja. Lebih baik aku diam, toh percuma semua pendapatku sama sekali tidak didengarkan.
.
.