TOXIC

Rain Emmeline
Chapter #3

Dari Musuh Jadi Sahabat

Itu adalah kali terakhir Cella dan aku saling berkomunikasi. Selepas kejadian tersebut, kami tidak pernah bertegur sapa dan berbicara. Sebenarnya tanpa kejadian itu, kami juga tidak pernah bertegur sapa. Yah, aku tidak peduli juga. Toh sedari awal aku memang tidak pernah memiliki hubungan baik dengan anak perempuan. Jadi semua ini tidak menimbulkan perbedaan padaku.

Tapi, suatu hari, aku terlambat masuk ke kelas. Karena terlambat, akhirnya hanya tersisa dua tempat duduk kosong di belakang. Mau tidak mau aku duduk di sana sendirian. Beberapa menit kemudian, Cella datang. Jadilah kami berdua duduk bersama di bangku belakang. Awalnya kami saling diam-diaman dan memperhatikan penjelasan guru di depan. Sampai kemudian suara Cella memecah keheningan kami.

“Kamu punya pensil, nggak? Pensilku ketinggalan.”

Aku memeriksa tepak pensilku, terdapat beberapa pensil kayu di dalamnya. Kuberikan salah satu padanya. “Nih.”

“Wah, pensilmu kok lucu? Bisa kelap-kelip begini, bagus sekali …”

“Ambil saja kalau mau, aku punya banyak pensil seperti itu kok.” Aku membalas dan menunjukkan beberapa koleksi pensilku padanya. “Atau kamu mau pilih pensil yang mana? Mungkin kamu suka yang warna pink?” tawarku lebih lanjut.

Cella terlihat senang, dia memilih pensil yang berwarna ungu. “Terima kasih!”

Aku balas dengan tersenyum.

Dari insiden terlambat dan pensil itu, hubungan kami membaik. Lama-lama kami justru berteman baik. Lucu sekali ya. Karena hal itu aku justru bisa mengenal Cella lebih dalam. Ternyata dia jauh lebih menyenangkan dan dewasa daripada yang kukira. Dia pun berkata tidak menyangka kalau aku tidak sediam yang dipikirkannya.

Berawal dari meminjam pensil, kami jadi dapat membicarakan banyak hal. Ternyata seperti ini rasanya memiliki seorang sahabat.

Setiap hari Cella diantar-jemput oleh ayahnya. Setiap bermain ke rumahku, ayahnya juga menungguinya di ruang tamu. Bahkan terkadang ayahnya ketiduran, aku sampai kasihan melihatnya.

Ada satu kebiasaan lucu dari Cella. Sahabatku ini sangat suka menghitung uang di notes kecil. Contohnya saja dia memberi start angka Rp 50.000,- lama-lama dia akan mengurangi uang itu dengan beberapa jumlah lain seakan dia sedang membeli barang sungguhan.

“Iya, aku sangat suka menghitung uang. Menghitung uang itu menyenangkan. Karena aku mendapat uang bulanan Rp 50.000,- setiap bulan, jadi aku harus berhemat dan menghitung kalau aku mau beli ini itu ya kira-kira jumlahnya segitu.” Cella selalu menjelaskan demikian kalau aku bertanya kenapa dia selalu menghitung secara acak.

Sementara aku, orang tuaku tidak pernah memberi uang bulanan. Kalau aku butuh uang aku akan minta, tapi itu pun tidak begitu banyak. Seperti hari ini aku butuh uang pegangan untuk pulang naik angkutan umum, paling aku hanya minta Rp 2.000,-. Kalau tidak terpakai maka akan kusimpan sampai besok. Tetapi kadang aku memakainya kalau ingin membeli makanan di luar, paling tidak aku bisa mendapatkan jajanan kecil atau pentol. Sepertinya keadaan kami sama saja tidak berhamburan uang jajan.

Lihat selengkapnya