TOXIC

Rain Emmeline
Chapter #4

Drama Sehari-hari.

Masa SMP adalah yang menyenangkan bagiku. Selain mulai mengetahui hobi dan bakatku, aku juga mulai mengenal cinta dan lain sebagainya. Tetapi sebesar apa pun rasa senang di saat itu, masa SMP harus berakhir juga. Pada akhirnya aku melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Semakin dewasa, aku menyadari bahwa menjadi manusia itu amat sangat tidak mudah. Setiap memasuki jenjang baru, penyesuaian diri harus selalu dilakukan. Meski aku melanjutkan ke sekolah yang sama, tetap saja aku harus beradaptasi dengan teman baru. Tetapi setidaknya Cella dan aku masih bersekolah di tempat yang sama.

Dia memang supel sehingga dapat memiliki teman baru dengan lebih mudah, jadi mau tidak mau aku merelakan dia bergaul dengan orang lain selain aku. Kuakui aku memang orang yang posesif pada sahabat, tetapi aku tidak mengungkapkannya karena bagaimana pun dia butuh bergaul dengan orang lain dan mengembangkan diri. Toh aku bukan orang tua atau pacarnya, bahkan sebenarnya orang tua dan pacarnya pun tidak boleh membatasi lingkup pergaulannya. Selama dia bergaul dengan orang-orang yang baik, kenapa harus dilarang?

Sekarang untuk berteman dengan orang lain memang tidak sesusah dulu. Aku masih dapat berteman dengan banyak orang. Dalam bekerja kelompok pun mereka juga lebih fleksibel. Meski mereka selalu membentuk clique (re: semacam geng), dan kurasa di mana-mana semua manusia selalu bergaul dengan cara ini. Kalau kamu tidak sesuai dengan kami, maka kita tidak akan menjadi teman baik. Seperti itulah motto hampir semua orang. Jadilah aku seperti tidak memiliki teman baik. Satu-satunya orang yang kuakui sebagai sahabat terbaikku hanyalah Cella. Karena bagaimana pun dia tidak sombong seperti orang-orang yang lain.

“Ingat ya, Vin, kalau kamu itu adalah sahabat terbaik yang kupunya. Meski sekarang aku sudah memiliki banyak teman dan geng. Tapi teman terbaik yang pernah kupunya itu cuma kamu. Kamu tahu semua tentangku dan keluargaku. Jadi jangan pernah merasa takut kalau aku nggak menganggapmu sahabat.”

Cella pernah mengirimiku surat persahabatan yang berisi seperti itu. Mungkin karena dia tahu aku sedikit merasa cemas karena takut tidak dianggap sebagai sahabatnya lagi. Karena aku sangat tidak ingin kehilangan sahabat yang menyenangkan seperti dia. Siapa yang rela kehilangan sahabat yang baik, tulus, jujur, dan terutama kami satu frekuensi? Menemukan sahabat sejati seperti itu sangat susah.

Sementara, beberapa teman lain di kelas yang kutemukan saja memiliki sifat yang kurang kusuka. Yah, sebenarnya sangat banyak manusia yang seperti ini. Manusia yang mau berteman denganmu hanya karena kamu memberi manfaat baginya. Maka dari itu, setiap kali melihat dua orang sahabat, hanya ada satu hal yang menghampiri benakku.

Apa dia tulus berteman dengan orang itu?

Ataukah dia berteman dengan suatu alasan tertentu?

Maafkan pertanyaan di kepalaku ini. Tetapi menjumpai banyak orang seperti itu membuatku menjadi orang yang selalu skeptis pada segala sesuatu.

Ketika aku tidak memberi manfaat padanya, dia tidak mau repot-repot untuk menolongku. Ah, tapi bagaimana pun dia tetap pernah berjasa menolongku. Jadi aku berusaha tidak terusik pada hal yang tidak kusuka itu.

Hidup ini sudah susah dan rumit. Tetapi kenapa banyak sekali orang yang sangat suka berdrama. Bodohnya, aku justru mengikuti drama yang mereka buat. Meski kadang drama yang mereka ciptakan itu asyik untuk ditonton, bukan untuk diterapkan dalam hidup kita. Ini salah satu contohnya:

Ketika istirahat siang di sekolah, tiba-tiba seorang siswa dari kelas sebelah datang ke kelasku dengan rusuh. Tanpa terduga, dia menarik kerah seragam teman sekelasku dan berkata kasar.

“G*bl*k! Lapo kon nyedek’i cewekku! (Ngapain kamu mendekati cewekku!)” hardik siswa sebelah bernama Rinto itu pada Yohanes teman sekelasku.

Di sekolah memang kami sering berbicara dalam bahasa Jawa kasar kalau pada sesama teman. Kalimat kasar seperti itu sudah lumrah terdengar di telinga.

Sementara Yohanes yang tidak terima langsung menepis cengkeraman Rinto pada kerahnya. “Opo, hah! Gak usah cekel-cekel kerahku! (Apa, hah! Tidak usah pegang-pegang kerahku!)”

Lihat selengkapnya