TOXIC

Rain Emmeline
Chapter #5

Melangkah ke Level Lebih Tinggi

Siswa-siswi di sekolahku sedang bingung. Mereka sedang sibuk memikirkan harus melangkah ke mana setelah lulus SMA ini. Ada yang memutuskan berkuliah, langsung bekerja, bahkan langsung menikah. Untuk yang memutuskan lanjut kuliah, mereka juga sibuk memikirkan jurusan apa yang akan dipilihnya. Awalnya aku sempat bingung juga harus memilih jurusan apa. Tapi kemudian pilihanku mantap pada satu jurusan. PSIKOLOGI.

Aku mantap memilih psikologi karena satu alasan: aku ingin menjadi orang yang lebih berempati. Untuk alasan terselubung lainnya, aku ingin memperbaiki diri sekaligus rawat jalan. Sementara Cella, dia memilih lanjut kuliah ke jurusan manajemen bisnis. Sedih sekali mengetahui bahwa kami tidak lagi satu jurusan, tetapi tidak mungkin juga karena bersahabat maka kami harus selalu bersama-sama. Kalau memilih jurusan karena mengikuti teman, kurasa nanti kami tidak akan maju. Terutama minatku lebih condong pada jurusan psikologi.

Sesuai dugaanku, hari pertama berkuliah aku tidak langsung mendapatkan teman. Semua orang yang berada di sini benar-benar asing menurutku. Apakah sebenarnya aku salah jurusan? Ya ampun, ini baru hari pertama dan aku merasa salah jurusan begini. Ini benar-benar buruk.

“Hai, namaku Calvina Avila, tapi biasanya orang-orang memanggilku Vina.” Aku berujar ramah pada seorang perempuan berkemeja putih.

Sebenarnya aku sedikit segan untuk berkenalan dengannya, karena wajahnya terlihat jutek. Tapi daripada aku hanya pasif pada orang lain, lebih baik aku mengajaknya berkenalan.

Dia menatapku sejenak, sepertinya berusaha menilai. “Namaku Meggy Ariandi. Panggilan akrabku Meggy.”

Aku tersenyum dan mengajaknya duduk bersama. Sebenarnya aneh juga, tapi daripada sendirian. Lebih baik mengenal seseorang daripada merasa asing sama sekali di tempat ini.

.

.

.

Perkuliahan di bidang psikologi ini sangat menarik. Ada banyak hal yang membuatku bersyukur memilih jurusan ini. Pertama, pembelajaran psikologi ini cukup fleksibel. Fleksibel dalam artian topik pembahasannya tidak kaku seperti eksakta. Terutama psikologi ternyata sangat dekat dengan kehidupan manusia sehari-hari. Intinya adalah ketika ada manusia, di sanalah psikologi tetap berperan. Kedua, jurusan ini jauh lebih “manusiawi” dibanding jurusan lain. Ambil saja contoh untuk orientasi jurusan, tugas-tugas kami masih tergolong jauh lebih ringan dibanding dengan jurusan yang lain. Bahkan temanku yang dari jurusan lain saja mengungkapkan kalau dia iri melihat tugasku yang tidak serepot miliknya. Padahal kami masuk di universitas yang sama.

Ada juga hal yang membuatku tidak merasa sendirian di sini. Ternyata setelah mendengar cerita beberapa orang, aku baru mengetahui bahwa beberapa mahasiswa di sini juga memiliki kisah “gelap” menyangkut keluarganya. Contohnya adalah beberapa temanku tidak pernah bertemu dengan ayahnya semenjak lahir. Yah, sebenarnya tanpa masuk jurusan psikologi aku sudah menemui banyak orang dengan peristiwa masa lalu serupa. Tetapi menyaksikan langsung beberapa output yang berbeda antara satu sama lain membuatku semakin takjub. Manusia benar-benar unik.

Beralih kembali pada kehidupan kuliahku. Ada beberapa hal yang membuatku cukup kepayahan, yaitu tugas-tugas yang menyangkut dengan wawancara dan praktek presentasi di depan banyak orang. Kuakui aku amat sangat payah dan pasif kalau harus melakukan itu. Aku merasa tidak pintar bicara dan gugup saat melakukannya. Entah kenapa, berbicara di depan orang banyak dan tidak dikenal selalu membuat tubuhku berkeringat dingin dan ucapanku tidak jelas. Sampai-sampai Meggy kesal denganku suatu kali.

“Vin, gantian kamu yang bertanya, dong.” Perempuan itu menyikutku dan berbisik.

Akhirnya aku mengajukan pertanyaan saat wawancara. “Jadi Bu, biasanya jualan di sini apa saja peristiwa unik yang pernah ditemukan?” tanyaku spontan.

Lihat selengkapnya