TOXIC

Rain Emmeline
Chapter #6

Dia yang Menawan

Sebenarnya alasanku mengikuti organisasi bukan murni karena ingin bersosialisasi dan menyusun program kerja. Kalau bisa bergaul dengan banyak orang, bahkan menjadi dekat dengan lawan jenis, kenapa tidak? Lagipula banyak juga seniorku yang berpacaran dengan sesama anggota organisasinya. Pasti seru kalau bisa dekat dengan lawan jenis setiap saat. Yah, menjadi satu anggota kepanitiaan akan membuat kita menghabiskan banyak waktu dengan orang tersebut. Tidak kuduga aku bisa dekat juga dengan laki-laki.

Namanya Ardo Dimitry, dia senior yang lebih tua satu tahun di atasku tetapi kami masih satu jurusan. Sebenarnya bingung juga apa kami ini dekat atau tidak. Tetapi aku tahu aku sudah di tahap menyukainya. Awal mula kami bertemu adalah karena dia bertugas sebagai pengawas program tempat aku berkontribusi, jadi kami cukup sering bertemu. Aku juga sering berkonsultasi padanya mengenai proposal yang disusun.

Menurutku, dia adalah senior yang sangat menyenangkan dan humoris. Bahkan dia juga mendengarkan ceritaku sesekali dan memberi respon yang baik. Kalau segi fisik, dia cukup sesuai dengan kriteriaku. Dia tinggi, wajahnya menarik, kulitnya putih, dan hidungnya mancung. Kalau melihat wajahnya, sepertinya dia ada blasteran Eropa sedikit. Jadi sudah dapat ditebak, banyak sekali mahasiswi yang berusaha mendekatinya. Sudah tampan, orangnya menyenangkan juga. Itu adalah kombinasi yang sangat sempurna! Kalau bermimpi untuk menjadi pacarnya tidak salah, kan?

“Kak, Kakak kan mengikuti banyak organisasi, berarti sibuk banget, dong? Waktu nongkrong sama teman jadi berkurang, kan?” tanyaku berbasa-basi untuk memecah keheningan, karena saat ini kami berdua hanya berdiam-diaman di ruangan organisasi A.

Yang awalnya Ardo hanya fokus pada laptopnya akhirnya menatapku dan langsung tersenyum. “Memang sibuk sekali, tapi aku suka. Yah, solusinya ya kamu mesti nongkrong sama teman satu organisasi. Nongkrong masih jalan, program juga lancar jaya!”

Wah, ini benar-benar pola berpikir anak organisasi. Kenapa aku tidak memikirkan hal seperti itu, ya?

“Makanya, kamu bergaul juga sama anak-anak di sini, jadi kamu nggak akan kesepian. Tapi menurutku sih tinggal pintar-pintarnya kamu mengatur waktu saja. Kalau mengerjakan tugas kuliah ya dimanfaatkan dengan nongkrong juga.” Ardo kembali menambahkan.

“Kakak nggak capek kalau selalu pulang malam?” tanyaku lagi.

“Capek banget sih. Tapi rasa capeknya dibarengi dengan rasa senang, jadi sepadan lah.”

Tiba-tiba perutku berbunyi, suaranya cukup keras pula. Ah, kenapa perutku tidak sadar waktu dan tempat? Kan malu sama Ardo.

Benar saja, Ardo menatapku dan menahan tawanya.

“Kamu lapar?” tanyanya retoris. Sebenarnya ini juga sudah pukul enam sore lewat, jadi wajar saja aku sedikit merasa lapar. “Ya sudah, kamu mau makan apa? Aku pesankan lewat online.” Ardo berkata lagi.

“Oh nggak usah, Kak. Nanti aku langsung makan di rumah.”

Ardo menatap arlojinya dan kembali melihatku. “Sudah nggak apa, aku pesankan makanan biar kita sekalian makan bareng saja.”

Aku mulai cemas. “Tapi …”

“Sudah, nggak usah bingung. Yang penting sekarang kita harus makan. Aku juga lapar sih habis baca proposalmu.” Secara sepihak Ardo telah memesan makanan yang diinginkannya, mau tidak mau aku menurut pada cowok itu.

Hampir setiap pulang kuliah sore kami bertemu di ruangan organisasi A. Ardo mengetahui bahwa aku adalah orang yang mudah lapar, jadi dia sering membelikan makanan. Lama-lama tidak enak juga kalau dia terlalu sering membelikanku makanan padahal aku hanya juniornya. Entahlah, rasanya tidak sepadan saja kalau dia harus selalu mengeluarkan uang hanya untukku yang bukan siapa-siapanya. Ternyata yang merasa sedikit janggal bukan hanya aku, tetapi anggota kepanitiaan yang lain juga merasa ada ‘sesuatu’ di antara kami.

“Sebenarnya hubungan kalian berdua ini apa? Kalian sudah pacaran?” tanya Sevilla yang satu angkatan dengan Ardo.

Saat ini kami bertiga berada di ruang organisasi A dengan kepentingan berbeda-beda tentunya.

Aku diam saja, hendak melihat reaksi Ardo ketika mendapat pertanyaan seperti itu. Cowok itu tergelak serta mengamati Sevilla dan aku secara bergantian. “Kenapa kamu tanya begitu?” tanya Ardo kembali.

“Habis aneh saja melihat kalian, seperti dekat dan lebih dari teman, tapi kalian sendiri juga terlihat biasa-biasa saja. Jadi orang-orang kan penasaran melihat kalian.” Perempuan itu menjelaskan.

Wah, aku baru tahu kalau orang-orang bisa penasaran tentang hubunganku dengan Ardo. Mungkin orang-orang penasaran tentang Ardo, tapi bukan denganku. Maklum saja, dia kan cowok paling atraktif di jurusan. Kalau dia berkencan dengan mahasiswi satu jurusan, pasti orang-orang akan heboh.

“Ah begitu.” Ardo menatapku tiba-tiba, dia tersenyum lebar. “Calvin sendiri, merasanya kita bagaimana?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling.

Aku yang mendapat pertanyaan secara mendadak itu jadi salah tingkah. Bagaimana cowok itu bisa bertanya dengan santainya padahal ini kan menyangkut perasaan. Ah, mungkin karena dia merasa biasa saja makanya dia bisa menganggap ini sebagai pertanyaan kasual.

Lihat selengkapnya