Ternyata begini rasanya memiliki pacar. Aku sangat senang karena setiap hari ada yang menemani, membalas obrolanku yang terkadang tidak penting, membelikanku makanan, dan bahkan menghiburku. Hari ini genap seminggu kami telah menjalin hubungan. Orang-orang yang membicarakan kami sehari setelah kabar tentang Ardo dan aku pacaran sudah mulai berkurang. Mereka telah terbiasa melihat kami jalan berdua ke kantin atau menuju tempat parkir. Ditambah kami memiliki kegiatan kepanitiaan bersama, sehingga waktu kami bersama semakin banyak. Jadi meski kami tidak sekelas, aku tidak terlalu merasa sedih.
Berhubung Ardo satu angkatan di atasku, hal itu justru memberi keuntungan. Aku bisa bertanya beberapa hal tentang materi perkuliahan dan lain sebagainya. Bahkan Ardo juga memiliki banyak koneksi sehingga aku dapat minta referensi jika hendak melakukan observasi atau penelitian. Mungkin karena kami baru jadian, sehingga yang kurasakan adalah dimabuk cinta dengannya. Rasanya sekarang Ardo berkali-kali lipat lebih tampan dan menyenangkan. Siapa yang tidak semakin jatuh hati padanya?
Selain menghabiskan waktu di saat berorganisasi, kami juga berjalan-jalan berdua ke beberapa tempat. Ah, ada satu lagi hal yang kusukai darinya, dia amat sangat royal. Dia menerapkan prinsip “yang membayar adalah pria”. Itu bukan berarti aku materialistis, tetapi sebagai perempuan, bagaimana pun pasti suka jika laki-laki bersikap bertanggung-jawab seperti itu.
Hari ini cukup membuatku tidak sabar, karena Ardo hendak mengajakku ke rumahnya. Apa aku akan diperkenalkan dengan ibunya? Selama ini dia belum pernah bercerita tentang keluarganya karena dia tipe yang cukup tertutup soal pribadinya.
Ternyata, rumahnya sedang kosong. Ya sudahlah, mungkin lain kali aku akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang tua Ardo. Rumahnya terlihat minimalis dari luar, tetapi dalamnya sangat nyaman dan sejuk. Penataan perabotan juga cukup rapi dan terdapat beberapa koleksi majalah fashion yang berjejer rapi di rak buku. Sepertinya ibunya Ardo orang yang sangat rapi dan tertata.
“Sekarang rumah Kakak sedang kosong, ya?” tanyaku seraya memandang sekeliling rumah.
Ardo meletakkan tas ranselnya ke sofa dan melepas jaketnya, aku mengikutinya. “Iya, mamaku sedang bekerja.”
“Kakak punya saudara?” tanyaku lagi.
Dia langsung menggeleng dan tersenyum. “Nggak, aku anak tunggal.”
Kenapa dia tidak menyinggung soal ayahnya? Kalau aku bertanya, apa hal itu akan menyinggungnya?
“Aku tinggal di rumah ini hanya berdua dengan mamaku. Sementara papaku, yah … dia sudah pergi meninggalkan mamaku dari semenjak aku lahir.”