TOXIC

Rain Emmeline
Chapter #8

Wajahnya yang Sebenarnya

Hari ini jurusan kami ada kegiatan seminar tentang “Pemanfaatan Media Sosial untuk Menyebarkan Kesehatan Mental”. Karena sangat menarik minatku, aku pun sudah mendaftar jauh-jauh hari. Ardo juga mendaftar, tetapi hari ini kami tidak terlalu kontak dekat karena aku bersama sahabatku begitu pun dia. Jadi seharian ini aku lebih banyak menempel dengan Meggy. Yah, sebenarnya banyak mahasiswa baru termasuk kami yang mengikuti seminar ini demi mendapatkan poin untuk kelulusan nanti. Tidak perlu munafik juga.

Saat hendak mengambil roti, teman sekelasku yang bernama Kevin menyapaku. “Hai Vina, kamu ikut seminar ini juga?” tanyanya ramah.

“Iya nih, karena pembahasannya menarik. Kamu sendiri juga ikut?” balasku berbasa-basi.

Aneh juga ya kami bertanya seperti itu. Padahal dengan saling bertemu di ruang auditorium kan sudah menjadi tanda kalau kami memang mengikuti seminar? Terkadang basa-basi yang kami gunakan memang aneh. Istilahnya seperti basa-basi yang seharusnya tidak perlu.

“Sebenarnya aku ikut hanya untuk mencari poin. Tadi saat seminar aku mengantuk sekali, hehe.” Kevin berkata dengan tawa kecil.

Berhubung Kevin berada di depanku, dia pun mengambilkan sekotak roti dan memberikannya padaku.

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

“Lebih baik setelah ini kamu cuci muka supaya nggak ketiduran lagi.” Aku memberi saran sekaligus bercanda.

Kevin tertawa dan mengedipkan sebelah matanya. “Padahal aku berencana tidur lagi.”

Selepas istirahat sejenak itu kami pun kembali masuk ke ruang auditorium dan lanjut mengikuti seminar.

.

.

.

Aku menunggu Ardo di depan ruang auditorium untuk pulang bersama. Begitu berpisah dengan teman-temannya, cowok itu menghampiriku dan raut wajahnya berubah menjadi datar. Aku tidak mengerti kenapa ekspresinya berubah secepat itu.

“Halo, Kak. Capek, ya?” tanyaku dengan semringah.

“Halo, Vina. Biasa saja sih, kuliah lebih capek. Kalau hanya seminar begini sih nggak masalah.” Ardo menjawab cuek. “Ya sudah, ayo langsung pulang.”

Sepanjang perjalanan dia hanya diam. Biasanya Ardo masih mengajakku mengobrol tentang apa pun. Tapi sekarang dia hanya diam, apa aku melakukan suatu kesalahan tanpa sadar? Atau kah dia memiliki masalah? Sungguh, didiamkan olehnya sangat membuat resah. Aku jadi cemas tidak jelas kalau dia hanya diam begini.

“Kak, apa Kakak ada masalah?” tanyaku berusaha mencari tahu.

“Nggak kok, nggak ada apa-apa.” Ardo menjawab pelan dari balik helm.

“Atau aku ada buat salah pada Kakak?” tanyaku lagi.

“Nggak, kok.”

Karena aku tidak tahu harus bertanya apa lagi, aku pun diam.

Begitu tiba di rumah Ardo yang tengah kosong kami langsung duduk di sofa. Ardo menyalakan TV dan mengambil minum, sedangkan aku masih memikirkannya yang terus terdiam.

Tanpa terduga, ketika Ardo kembali dan telah duduk di sampingku, dia menjitak kepalaku. Jitakannya memang tidak sakit, tapi aku terkejut dia melakukan itu secara tiba-tiba.

“Kenapa Kakak menjitakku?” tanyaku dengan kaget.

“Itu hukuman.”

“Hukuman? Memangnya aku melakukan kesalahan?” tanyaku masih tidak mengerti.

Ardo menatapku dengan datar dan menjawab tenang. “Siapa cowok yang tadi ngobrol denganmu saat istirahat seminar? Dia terlihat perhatian dan bahkan mengambilkanmu roti.”

Aku berusaha memahami apa yang terjadi. Ah, sepertinya dia cemburu. “Ya ampun, itu Kevin, Kak. Dia teman sekelasku dan dia memang selalu ramah pada semua orang. Sepertinya Kakak salah paham melihat peristiwa tadi.”

Laki-laki berkemeja putih tersebut bersedekap dan menghela napas. “Mungkin dia memang sekadar teman sekelasmu dan akrab pada semua orang. Tapi kita nggak tahu apa yang dipikirkannya tentang kamu, kan? Dia tahu kalau kamu sudah punya pacar, kan?” tanya Ardo dengan datar dan tegas.

“Tahu sih, saat awal kita jadian dia sempat bertanya.” Aku menjawab dengan jujur.

“Sudah tahu begitu, kenapa dia masih mendekatimu?” balas Ardo masih sama sewotnya.

“Dia nggak mendekatiku, Kak. Dia hanya mengobrol seperti biasa.”

“Aku nggak suka kalau kamu berbicara dengan lawan jenis. Pokoknya kalau ada laki-laki yang mengajakmu ngobrol, kamu harus cepat menjauh!” Ardo memberi keputusan final.

“Lho Kak, padahal kami nggak ngobrol aneh-aneh. Kami ya hanya berbicara seperti biasa.”

Lihat selengkapnya