Hari ini seperti biasa aku berkunjung ke rumah Ardo. Sekarang kami terbiasa menghabiskan waktu bersama di ruang tamunya. Berhubung ibunya setiap hari bekerja hingga malam, jadi kami dapat bebas berbuat apa saja. Yang dapat kutekankan di sini, kami tidak melakukan hal yang aneh-aneh, paling hanya ciuman. Sebenarnya dia pernah menyentuhku lebih dari yang seharusnya, tetapi begitu kuperingatkan dia langsung menjauhkan tangannya dan paham situasiku.
Saat ini, Ardo tengah keranjingan dengan permainan di ponselnya. Seringkali dia mengabaikan ucapanku atau aku yang selalu menggelayut manja padanya. Terkadang aku memperhatikannya yang sedang bermain dan bertanya ini-itu. Dia pun menjawab seadanya. Seperti sekarang, aku melingkarkan tanganku di lengannya dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Sementara Ardo terus saja fokus pada layar ponselnya.
“Kamu mainnya jago, ya.” Aku berujar sembari tetap memperhatikan Ardo bermain.
“Biasa saja …” Ardo menanggapi cuek.
“Lain kali ajarin aku itu dong, biar aku bisa ikut main!” pintaku dengan penuh harap. Bisa bermain game dengan pacar kan menyenangkan. Jadi Ardo tidak hanya akan merasa hubungan kami sekadar mesra-mesraan, tapi bisa jadi partner game juga.
Game langsung berakhir karena Ardo terbunuh oleh tim musuh. Dia spontan memaki dan membanting ponselnya, “Anj*ng! Bangs*t!! Pemainnya gobl*k semua, kok!!!”
Aku kaget mendengarnya berkata kasar. Tetapi yang lebih membuatku syok adalah dia menepisku yang ada di lengannya sehingga aku terhempas ke ujung sofa dengan keras. Kepalaku terbentur ujung sofa yang berbahan kayu jati dan rasanya sangat menyakitkan. Oh, kuharap aku tidak gegar otak.
“Ngapain kamu nggelandot begitu??! Mengganggu konsentrasi saja! Lihat kan aku jadi kalah!!” hardik Ardo padaku dengan nada tinggi. Dia terlihat sangat marah dan melotot padaku.
Ini kali pertama aku melihatnya semarah ini. Tanpa bisa dihindari mataku berkaca-kaca dan aku menangis kecil. Aku takut melihatnya semarah itu. Aku tidak tahu kalau yang kulakukan ternyata membuatnya terganggu.
“Maaf, gara-gara a-aku kamu jadi kalah …” Aku berusaha meminta maaf meski suaraku sedikit bergetar.
“Ck! Ya sudah, lain kali kalau aku main kamu jangan mengajakku bicara.” Ardo kembali mengambil ponselnya yang layarnya sedikit retak karena dibanting ke meja. Dia menoleh padaku dengan sebal. “Kamu nggak apa? Tadi sepertinya kepalamu terbentur kayu sofa.”
Aku memegang kepalaku dan tersenyum menenangkannya. “Nggak apa kok.”
Tunggu dulu, kenapa aku merasakan perih di bagian yang kusentuh? Sedikit terasa basah meski hanya sedikit. Oh tidak, perasaanku tidak enak. Saat kulihat jari tangan kananku, benar saja! Ternyata ada darah sedikit di sana. Ini hanya lecet kecil kan karena terbentur? Aku tidak akan gegar otak, kan?
Ardo juga memperhatikan tanganku dan dia terkejut melihat sedikit darah itu. Lekas saja dia masuk ke dalam kamarnya dan mengeluarkan kotak P3K. Setelah mengeringkan sedikit darah itu dengan kain bersih dan melakukan hal lain yang aku tidak tahu, dia pun mengembuskan napas lega.
“Ya ampun maaf Vina, aku kelepasan. Maaf aku terlalu kasar tadi, sepertinya setan mempengaruhiku tadi.”
Ardo memelukku tiba-tiba, lalu dia menangis. “Aku sama sekali nggak bermaksud kasar, sumpah! Aku nggak sadar tanganku tiba-tiba mendorongmu seperti itu. Maaf ya sekali lagi, Vina. Aku khilaf …”
Sepertinya dia sungguh-sungguh menyesal. Mungkin karena terlalu kesal dia sampai mendorongku seperti itu. Kalau seperti itu aku bisa mengerti. Semua manusia pasti juga pernah melakukan kesalahan seperti itu.
Sebagai manusia, kita harus selalu memaafkan karena kita pun selalu dimaafkan orang lain, kan??
.
.
.
Kejadian serupa tidak berhenti sampai di situ. Suatu malam, saat aku pulang dari menonton dengan Ardo dan menuju basement mal terjadi ‘sesuatu’ lagi. Jadi dalam perjalanan aku sempat bertubrukan dengan laki-laki yang sepertinya sepantaran dengan kami dari universitas lain. Setelah meminta maaf, kami kembali melanjutkan jalan masing-masing. Begitu tiba di depan motor Ardo, dia menyerahkan helm dengan kasar sehingga membentur wajahku.
Ah, rasanya sangat sakit sampai aku merasa bisa-bisa besok hidung dan pipiku lebam. Bukannya minta maaf, Ardo mengalihkan pandangan dan memakai helmnya sendiri.
“Aduh, Kak! Hati-hati dong kasih helmnya, mukaku bisa babak belur kalau begini!” Akhirnya aku memberanikan diri menegur pacarku itu.
Tiba-tiba dia mencubit tangan kiriku dengan cukup keras dan menatapku marah. “Makanya jadi cewek jangan genit sama cowok lain. Kamu dihukum sedikit saja langsung mengaduh kesakitan. Kenapa kamu lemah sekali??” tanyanya tanpa perasaan.