Hari-hari menjadi lebih baik sekarang. Perkuliahanku berjalan dengan lancar dan tenang. Urusan kepanitiaan pun juga baik-baik saja. Terkadang aku masih bertemu dengan Ardo, tetapi begitu berpapasan dia selalu membuang muka. Aku tidak peduli, yang penting kegiatan perkuliahan dan kepanitiaan tetap berjalan lancar. Beberapa orang memang bertanya padaku apa aku putus dengan Ardo, dan aku selalu menjawab dengan senyum tipis.
“Kenapa kalian putus?” tanya Sherly teman sekelasku.
Aku mengangkat bahu dan tersenyum simpul. “Ya karena kami nggak cocok.”
“Wah sayang banget. Padahal aku suka sekali melihat kalian berdua, kalian terlihat sangat serasi satu sama lain.”
“Yah, itu kan hanya sampulnya. Jangan mempercayai apa yang terlihat.”
Aku merasa sok bijak sekali dengan berkata demikian. Tapi itu benar adanya. Orang-orang kan hanya melihat di permukaan, mereka tidak tahu bagaimana hubungan kami sebenarnya. Lebih baik biarkan saja seperti ini. Biarkan mereka bertanya-tanya, aku tidak mau menjawab lebih dari itu. Biarlah itu menjadi urusan Ardo sendiri. Kuharap di masa depan jika dia berpacaran, dia dapat memperlakukan pacarnya dengan baik. Jangan sampai ada lagi perempuan yang mengalami apa yang kualami.
Meski setiap bertemu dengan Ardo aku merasa tidak nyaman, tetapi selama dia tidak mengusikku aku tidak masalah. Yang kuharapkan adalah urusan kepanitiaan ini segera selesai. Selain karena menguras waktu serta tenaga, ditatap lekat-lekat oleh Ardo bukanlah hal yang menyenangkan.
Ah, aku tidak tahu apa istilahnya itu. Apa karena Ardo belum move on, atau dia kesal aku memutuskannya sepihak. Tapi melihatnya mencuri pandang ke arahku sama sekali tidak menyenangkan. Oh, aku bukannya ge’er, tapi dia benar-benar melakukannya. Yah untungnya dia hanya menatapku, tidak sampai datang menegurku atau memintaku membuka blokiran nomornya. Jika kami putus dengan baik mungkin saja aku akan berdebar-debar ditatap olehnya seperti itu. Ya aku berdebar, tapi bukan karena jatuh cinta. Melainkan karena ketakutan.
Aku tidak ingin bertemu dengan laki-laki sepertinya lagi. Kemungkinan besar dia akan menjadi cikal bakal seperti ayahku. Aku tidak ingin di masa depan nanti anakku mengalami apa yang kurasakan. Aku tidak berharap anakku memiliki trauma terhadap pria sepertiku. Yang lebih kuharapkan lagi, aku tidak mau sampai anakku menangis dan bertanya kenapa dia harus dilahirkan. Jangan sampai anakku di masa depan nanti berharap tidak dilahirkan.
.
.
.
Setelah seharian melaksanakan sebuah event dan melakukan rapat evaluasi hingga malam, akhirnya aku bisa pulang juga. Rasanya memang melelahkan, tetapi aku sangat puas dan gembira. Satu tugas besar telah selesai, tinggal menyelesaikan tugas-tugas lainnya.
Begitu tiba di rumah, aku pun disambut oleh tatapan kesal ayahku. Perasaanku tidak enak kalau beliau menguarkan hawa negatif seperti itu. Kelihatannya malam ini aku akan disemprot.
“Dari mana saja kamu? Apa kuliah itu pulangnya selalu semalam ini?” tanya ayahku dengan nada tinggi.
Sekarang jam 10 malam, aku tidak tahu apa ini patokan pulang terlalu malam atau tidak. Tapi serius rapat evaluasi memang baru selesai semalam ini.
“Mmm …” Aku bingung harus menjawab bagaimana. Karena sebenarnya ayahku pernah menyuruhku konsentrasi penuh pada aktivitas perkuliahan saja. Kata beliau kepanitiaan itu tidak penting.